MAKIN mendekati pemilihan umum, muncul wacana perubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka ke sistem proporsional tertutup.
Perubahan ini tentunya mendapat pro dan kontra masyarakat, lebih-lebih mereka yang paham perpolitikan.
Bagi mereka yang kontra, muncul anggapan bahwa wacana perubahan sistem tersebut menyebabkan pemilih seolah-olah “membeli kucing dalam karung”. Padahal sistem proporsional tertutup tersebut sudah ditinggalkan tahun 2004 lalu.
Ungkapan kucing dalam karung memantik minat penikmat berita, misalnya mereka yang sehari-harinya bergelut dengan kebahasaan.
Mereka menonton berita sambil menyimak fenomena berbahasa yang digunakan, baik oleh news presenter, maupun narasumber yang dihadirkan. Tentunya bahasa yang disajikan di dalam berita tersebut menambah nikmatnya waktu santai.
Membeli kucing dalam karung. Ungkapan ini awalnya muncul sebagai pengingat kepada pembeli agar berhati-hati dalam membeli suatu barang.
Jangan hanya pasrah kepada si penjual. Perlu diteliti kembali apakah yang di dalam karung benar-benar kucing atau bukan.
Sejatinya, bagi pecinta hewan terutama kucing lover, mereka tidak menyetujui adanya frasa “membeli” yang dipasangkan dengan “kucing dalam karung”.
Kucing bukanlah jenis komoditi yang bisa diperjualbelikan. Mereka mengajukan istilah “adopsi” jika seseorang ingin memiliki kucing sebagai hewan peliharaan.
Masuk akal juga, sih. Jika diasosiasikan dengan manusia (sebagai sesama makhluk bernyawa), maka tentunya tidak tepat menggunakan istilah beli anak. Kita akan dikenai pasal human trafficking, perdagangan manusia.
Maka banyak dari pasangan menikah yang belum memiliki anak memilih mengadopsi anak dari panti asuhan.
Meskipun menggunakan istilah “adopsi”, tentunya calon orangtua asuh tidak serta merta dibebaskan dari uang, bukan? Mesti ada biaya yang dikeluarkan untuk mengadopsi anak selain berbagai macam dokumen penyerta (Kompas.com, 22/04/2015).
Kembali ke kucing dalam karung yang berkonteks politik. Tidak ada yang tahu awalnya mengapa istilah ini digunakan untuk menolak wacana penggantian sistem proporsional terbuka ke sistem proporsional tertutup.
Bila kita mengacu kepada komponen-komponen semantik/semantic feature (Lyons, 1977), setiap kata atau unsur leksikal terdiri atas satu atau beberapa unsur yang bersama-sama membentuk makna kata atau makna unsur leksikal tersebut.
Kata kucing juga memiliki komponen semantik penyusunnya. Pertama, binatang. Ups, ini definisi dari KBBI ya. Kucing merupakan binatang mamalia pemakan daging, cakar berbentuk arit, bermata sangat tajam, mempunyai perilaku kewilayahan yang sangat kuat.
Dari satu definisi KBBI saja kita sudah mual, ya, jika menyandingkan atau mengasosiasikan balon (bakal calon) dengan si kucing.
Mengapa harus kucing yang jelas-jelas binatang? Apa yang mau dindeks-kan dengan komponen kebinatangan tadi?
Pemakan daging, yakni bagian tubuh binatang sembelihan (KBBI). Lihat, binatang pemakan daging. Karnivor?
Indeks apa yang ingin diasosiasikan melalui lambang dan ikon kucing? Apakah ada indikator kalau si bakal calon memiliki perilaku “karnivor”?
Komponen berikutnya, cakar berbentuk arit. Kucing memiliki cakar ‘kuku yang panjang dan tajam’ setajam arit ‘melengkung, sabit’.
Sebagai binatang, kucing membutuhkan cakar untuk kebutuhan perlindungan diri, perlawanan terhadap musuh, maupun untuk urusan perut.
Apa bakal calon juga punya “cakar”? atau “arit”? Untuk apa? Bertahan hidup? Menyerang? Siapa yang akan diserang? Bertahan hidup dari apa? Apa balon banyak musuhnya?
Mata sangat tajam, sebagai komponen ketiga. Mata kucing sangat tajam ditambah bersinar terang saat malam hari. Mata ini dianugerahi Tuhan untuk membantu mereka melakukan perburuan sebagian besar di malam hari (Kompas.com, 21/05/22).
Jika kucing berburu malam hari, bukankah sang bakal calon nantinya tidak mesti bekerja sampai larut malam? Apa yang akan “diburu” balon malam-malam?
Keempat, punya perilaku kewilayahan yang sangat kuat. Istilahnya, kucing punya teritorial dan mereka menandai wilayah yang penting bagi mereka dengan urin (Kompas.com, 22/03/21).
Jorok, ya. Mana mungkin perilaku begitu disandingkan dengan bakal calon yang jelas-jelas tidak bekerja demi kepentingan “wilayah” tertentu, bukan? Mereka lebih mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau golongan.
Bagaimana, masih mau menggunakan ungkapan kucing dalam karung? Itu baru satu komponen maknanya, ya. Belum lagi kalau dibahas kucing yang suka memijat (Kompas.com, 13/04/22) dan gemar dengan kardus (Kompas.com, 26/03/22).
Sebagai pengganti ungkapan tersebut, di daerah Minangkabau, misalnya, mereka menggunakan istilah yang dekat dengan alam.
Memang mereka terkenal dengan adagium “baguru ka alam” alias menjadikan alam semesta ini sebagai sumber pengetahuan.
Lantas, apa asosiasinya? “Tabali mentimun dalam karuang, indak jaleh luruih jo bungkuaknyo” (Sumbarprov.go.id, 25/03/140).
Maksudnya, hati-hati saat membeli mentimun di dalam karung karena kita tidak bisa melihat apakah timun itu lurus atau bengkok.
Nah ini lumayan pas asosiasinya. Kata “lurus” mengacu kepada “aspirasi rakyat” dan kata bengkok menyasar “mengkhianati kepercayaan rakyat”.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.