DI PENGHUJUNG tahun 2022, kita menyaksikan berbagai fenomena bencana alam terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.
Gempa Cianjur mengagetkan berbagai pihak karena terjadi di lokasi yang tidak diidentifikasi sebagai sesar utama di Jawa Barat.
Dua minggu setelahnya, wilayah Garut dan sekitarnya diguncang gempa dengan magnitude 6,4. Selain itu, telah terjadi pula erupsi di Gunung Semeru dan Gunung Kerinci.
Hingga 12 Desember 2022, BNPB mencatat telah terjadi 3.350 kejadian bencana alam di berbagai wilayah Indonesia selama tahun 2022.
Penulis yakin bahwa pertanyaan yang muncul dari adanya fenomena bencana alam di Indonesia tersebut bukanlah seberapa layak Indonesia untuk kita tinggali.
Namun, pertanyaan yang paling sesuai adalah bagaimana kita dapat menghadapi bahaya yang ada di lingkungan agar dapat hidup nyaman dan siap menghadapi berbagai kemungkinan yang ada.
Khususnya untuk gempa di Cianjur, kita dapat belajar banyak dari gempa besar di Pulau Lombok pada 2018.
Pada saat kejadian gempa di Pulau Lombok, korban jiwa sebagian besar terjadi karena terkena runtuhan rumah korban.
Di lain sisi, korban yang berhasil menyelamatkan diri dari reruntuhan rumahnya terjebak di dalam labirin gang-gang tempat tinggalnya karena sempit dan berlikunya gang-gang tersebut.
Bahkan di beberapa lokasi terdapat gang buntu. Akibat terjebak di dalam labirin tersebut, korban terkena runtuhan rumah di sekitarnya.
Kesiapan Pulau Lombok dalam merespons gempa dengan magnitude di atas 7 dari berbagai aspek juga sangat rendah.
Mengingat sebagian besar karakter bangunan di Pulau Lombok tidak dapat bertahan terhadap gempa dengan magnitudo besar, perilaku yang diterapkan hampir di semua negara yang rawan gempa untuk berlindung di dalam rumah, baik di dekat struktur utama bangunan atau di bawah meja, menjadi tidak relevan.
Hasil pengamatan setelah kejadian gempa Cianjur menunjukkan bahwa muncul fenomena sama dengan yang terjadi di Pulau Lombok. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kesiapsiagaan menghadapi bencana masih sangat rendah.
Belajar dari berbagai fenomena bencana alam tersebut, kesiapsiagaan menghadapi bencana memegang peranan penting dalam mengurangi dampak bencana.
Sebagaimana disampaikan oleh Prof. Yoshiyuki Kaneda dari Kagawa University, Jepang, pada kuliah umum berjudul “Sains Ketahanan di Negara Rawan Bencana” yang dilaksanakan di Institut Teknologi Bandung pada 16 Desember 2022, terdapat beberapa pilar utama yang dapat menciptakan ketahanan sebuah negara terhadap bencana, yaitu:
Di Indonesia saat ini telah dikembangkan berbagai sistem peringatan dini bencana, baik oleh pemerintah maupun secara swadaya oleh masyarakat.
Tsunami Early Warning System telah dikembangkan oleh pemerintah, yang telah diresmikan pada 2008. Beberapa daerah telah memasang perangkat peringatan dini longsor.
Di Majalaya, Kabupaten Bandung, masyarakat, didukung oleh Institut Teknologi Bandung, telah mengembangkan sistem peringatan dini banjir.
Kesadaran dalam mempersiapkan diri menghadapi bencana telah pula muncul. Berbagai daerah di Indonesia saat ini telah memiliki forum pengurangan risiko bencana yang melibatkan pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat.
Di berbagai tempat saat ini telah disiapkan titik-titik berkumpul. Latihan untuk merespons kejadian bencana pun telah mulai digalakkan.
Namun, tugas terberat yang kita emban adalah menata kembali lingkungan dengan mempertimbangkan aspek mitigasi bencana sehingga diharapkan permasalahan yang muncul di Pulau Lombok dan Cianjur dapat dihindari.
Penataan kembali wilayah untuk menciptakan lingkungan yang ramah terhadap bencana harus dilaksanakan pada berbagai tingkat.
Penataan kembali wilayah terdampak tsunami di Aceh dilaksanakan pada tingkat kabupaten/kota, di mana rencana tata ruang wilayah mengatur pengembangan permukiman dan aktivitas ekonomi di zona yang aman terhadap tsunami.
Rencana tata ruang wilayah di kabupaten/kota di Aceh mengatur pula pemanfaatan secara terbatas zona yang rawan terhadap tsunami.
Pada tingkat dusun, sejak 2019, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional telah melaksanakan kegiatan konsolidasi tanah di Pulau Lombok.
Dusun-dusun di Pulau Lombok yang telah melaksanakan konsolidasi tanah saat ini telah memiliki bangunan yang tahan terhadap gempa, jalan yang lebar untuk mempermudah evakuasi, dan titik berkumpul yang aman untuk berlindung.
Di beberapa tempat di Kota Pekalongan yang memiliki kerawanan terhadap banjir dan rob telah mulai dilaksanakan konsolidasi tanah.
Selain untuk mengatasi masalah banjir dan rob, konsolidasi tanah di Kota Pekalongan diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang ramah terhadap bencana.
Pada dasarnya momentum untuk menata kembali lingkungan agar ramah terhadap bencana telah muncul.
Seiring dengan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja, pemerintah telah mengatur perencanaan tata ruang dari tingkat nasional, provinsi hingga kabupaten/kota dengan menempatkan pengurangan risiko bencana sebagai salah satu aspek utama.
Dengan memperhatikan kegiatan-kegiatan penataan kembali wilayah yang terdampak bencana, partisipasi masyarakat dan akademisi menjadi faktor yang sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang ramah terhadap bencana.
Selain itu, media dan pelaku usaha, sebagai komponen dari model kolaborasi penta-helix, diharapkan dapat pula terlibat. Dengan demikian, lingkungan yang ramah bencana diharapkan dapat segera tercipta di Indonesia.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.