Usul ini lebih besar daripada yang dikemukakan Nadia sebesar 80 persen mengacu pada negara lain. Namun, menurut Lisda, banyak negara yang menerapkan gambar dan tulisan peringatan pada bungkus rokok mencapai 90 persen.
Persentase peringatan sebesar 90 persen pada produk rokok dianggap angka yang ideal. Sedangkan saat ini, peringatan bergambar dan tulisan tentang bahaya rokok mencapai 40 persen dari luas bungkus rokok.
Baca juga: Yayasan Lentera Anak Usul Gambar dan Tulisan Peringatan di Produk Rokok Jadi 90 Persen
Apalagi, peringatan tentang bahaya rokok menjadi bentuk edukasi kepada warga atau masyarakat. Bisa saja, kata Lisda, masyarakat jadi mengurungkan niatnya untuk membeli rokok.
"Kalau bentuknya bisa besar itu jadi sentral perhatian masyarakat ketika mereka mau beli. Kita berharap anak-anak jadi mengurungkan niatnya ketika dia jadi mengetahui bahwa rokok itu berbahaya," ucap Lisda.
"Jadi idealnya berapa? Idealnya 90 persen yang kita harapkan," sambungnya.
Usulan lainnya yang dia kemukakan adalah melarang iklan rokok di media sosial dan media luar ruang.
Baca juga: Jual Rokok Ketengan Bakal Dilarang, Asosiasi Tembakau: Bagaimana Awasi Penjualan di Warung?
Saat ini, baru ada beberapa daerah yang melarang iklan rokok di media luar, termasuk Depok, Bogor, dan Jakarta. PP perlu mengatur secara rinci larangan iklan di media luar ruang sehingga aturan setingkat Peraturan Daerah (Perda) memiliki acuan.
"Jadi kita perlu di dalam PP di-mention secara clear supaya daerah-daerah lain juga punya cantolan hukum yang kuat untuk melarang iklan rokok di daerah masing-masing," sebut Lisda/
Baru berupa Keppres, penolakan sudah datang dari pihak industri dan asosiasi pedagang. Adanya tarik ulur antar berbagai pihak ini seringkali membuat pembahasan untuk merevisi PP 109/2012 kian alot.
Penolakan datang dari Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI). Mereka menilai, adanya rencana larangan menjual rokok batangan makin menggerus pendapatan para pedagang warung.
Sekretaris Jenderal APPSI Mujiburrohman menaksir pelarangan penjualan rokok eceran bisa memiliki dampak yang lebih besar, lantaran kini daya beli masyarakat tengah melemah.
"Pembatasan akses untuk mendapatkan rokok pasti akan berdampak kepada penjualan. Kami memperkirakan, jika aturan ini diberlakukan, omzet kami bisa menurun lebih dari 30 persen," ungkap Sekretaris Jenderal APPSI Mujiburrohman.
Sementara itu, Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) bakal mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenai rencana tersebut.
Ketua Umum APKLI Ali Mahsun menjelaskan, penjualan rokok secara eceran selama ini merupakan salah satu penopang utama pendapatan para pedagang kaki lima. Oleh karenanya, pelarangan itu bakal menggerus pendapatan pedagang kaki lima secara signifikan.
Apalagi, jumlah pedagang kaki lima di Indonesia tidak sedikit. Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021 mencatat, pekerja informal yang mencakup pedagang kaki lima ada sebanyak 78,14 juta orang. Dari data itu, jumlah pedagang kaki lima diperkirakan mencapai lebih dari 25 juta orang