Salin Artikel

Jalan Panjang Tekan Angka Anak Perokok, Niat Jokowi Revisi PP Lansung Dilawan Industri

Dalam Keppres tersebut, salah satu program yang tertuang adalah merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.

Keppres ini muncul setelah Keppres yang dikeluarkan sebelumnya tak kunjung merevisi PP 109 Tahun 2012 sampai habis masa.

Padahal, revisi PP 109/2012 ini sudah pernah dibahas sebanyak 8 kali antar kementerian pada tahun 2018-2019. Di tahun yang sama, prevalensi perokok anak naik menjadi 9,1 persen.

Dengan demikian, target menurunkan prevalensi perokok anak dari 7,2 persen menjadi 5,4 persen dalam RPJMN 2015-2019 menjadi gagal.

Revisi PP akan meliputi pelarangan penjualan rokok batangan; pelarangan iklan, promosi, sponsorship produk tembakau di media teknologi informasi; dan penegakan penindakan.

Kemudian, pengawasan iklan, promosi, sponsorship produk tembakau di media penyiaran, media dalam dan luar ruang, dan media teknologi informasi; ketentuan mengenai rokok elektrik; dan penambahan luas persentase gambar dan tulisan peringatan kesehatan pada kemasan produk tembakau.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menjadi kementerian yang memprakarsai revisi PP 109 Tahun 2012 tersebut.

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengatakan, revisi dilakukan untuk menekan tingkat perokok remaja yang terus meningkat.

Saat ini, terjadi peningkatan perokok anak sebesar 9 persen dan diperkirakan akan kembali meningkat sebesar 15 persen pada tahun 2024.

"Semua ini (untuk) menurunkan upaya merokok pada usia 10-18 tahun yang terus meningkat," kata Nadia kepada Kompas.com, Selasa (27/12/2022).

Mengacu data Kemenkes, penjualan rokok pada tahun 2021 meningkat 7,2 persen dari tahun 2020, yakni dari 276,2 miliar batang menjadi 296,2 miliar batang.

Konsumsi rokok berjumlah 70,2 juta orang dewasa, dan penggunaan rokok elektrik meningkat 10 kali lipat dari 0,3 persen di tahun 2011 menjadi 3 persen di tahun 2021.

Jumlah perokok anak ikut meningkat. Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), dan Sentra Informasi Keracunan Nasional (Sikernas) dari BPOM menyebutkan ada 3 dari 4 orang mulai merokok di usia kurang dari 20 tahun.

Prevalensi perokok anak terus naik setiap tahunnya. Pada 2013 prevalensi perokok anak mencapai 7,20 persen, kemudian naik menjadi 8,80 persen tahun 2016, 9,10 persen tahun 2018, dan 10,70 persen tahun 2019.

Remaja usia 10-18 tahun ini banyak membeli rokok ketengan karena cenderung lebih murah. Data Kemenkes menyebutkan, sebanyak 71 persen remaja membeli rokok ketengan.

Saat mereka membeli rokok batangan di warung, tidak ada larangan yang diterimanya. Hal ini mengingat tidak ada payung hukum yang melarang penjualan dan pembelian rokok ketengan.

"78 persen terdapat penjualan rokok di sekitar sekolah dan mencantumkan harga (jual) ketengan," ungkap Nadia.

Didukung organisasi kesehatan

Rencana revisi PP 109/2012 ini lantas didukung berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi Kesehatan. Salah satu dukungan datang dari Yayasan Lentera Anak.

Ketua Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari yakin revisi PP mampu menurunkan prevalensi perokok anak dan remaja usia 10-18 tahun.

Menurut Lisda, strategi yang menjadi poin-poin perubahan dalam PP sudah diterapkan di negara lain. Hasilnya terbukti mampu menurunkan perokok anak dan remaja karena barang tersebut makin sulit diakses.

Beberapa negara yang sudah berproses menekan perokok anak dan menurunkan prevalensinya adalah Thailand, Vietnam, dan sebagian negara ASEAN.

Meski dia mengakui, menurunkan prevalensi perokok anak dan remaja butuh waktu panjang dan tidak instan. Namun dengan diterbitkannya payung hukum berupa PP pasca revisi akan membuat impian itu selangkah lebih dekat.

"Apakah itu dari pengalaman negara lain, dari berbagai studi yang telah kami lihat itu berhasil (menurunkan prevalensi perokok anak). Memang untuk menurunkannya enggak dalam waktu 1-2 tahun," kata Lisda kepada Kompas.com.

Strategi yang tertuang dalam poin-poin revisi PP juga merupakan rekomendasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dibarengi dengan kenaikan cukai yang diputuskan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Revisi dipandang perlu karena belum ada aturan yang melarang penjualan rokok batangan. Dengan kenaikan cukai setiap tahun yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan pun, rokok selalu mudah diakses anak-anak dan remaja karena bisa dibeli secara ketengan.

Revisi pun diperlukan untuk menurunkan prevalensi perokok anak dari 9,1 persen menjadi 8,7 persen sesuai target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

"Ada pelarangan iklan rokok, pembesaran peringatan tulisan bergambar, kenaikan cukai, dan kawasan tanpa rokok. Itu adalah pengalaman-pengalaman beberapa negara seperti Thailand, Vietnam juga melakukan itu," beber Lisda.

Usulan pemerhati anak

Lisda bahkan mengajukan usul agar revisi PP 109 Tahun 2012 itu mengatur beberapa poin penting. Untuk gambar dan tulisan peringatan pada bungkus rokok misalnya, ia mengusulkan persentasenya sampai 90 persen.

Usul ini lebih besar daripada yang dikemukakan Nadia sebesar 80 persen mengacu pada negara lain. Namun, menurut Lisda, banyak negara yang menerapkan gambar dan tulisan peringatan pada bungkus rokok mencapai 90 persen.

Persentase peringatan sebesar 90 persen pada produk rokok dianggap angka yang ideal. Sedangkan saat ini, peringatan bergambar dan tulisan tentang bahaya rokok mencapai 40 persen dari luas bungkus rokok.

Apalagi, peringatan tentang bahaya rokok menjadi bentuk edukasi kepada warga atau masyarakat. Bisa saja, kata Lisda, masyarakat jadi mengurungkan niatnya untuk membeli rokok.

"Kalau bentuknya bisa besar itu jadi sentral perhatian masyarakat ketika mereka mau beli. Kita berharap anak-anak jadi mengurungkan niatnya ketika dia jadi mengetahui bahwa rokok itu berbahaya," ucap Lisda.

"Jadi idealnya berapa? Idealnya 90 persen yang kita harapkan," sambungnya.

Usulan lainnya yang dia kemukakan adalah melarang iklan rokok di media sosial dan media luar ruang.

Saat ini, baru ada beberapa daerah yang melarang iklan rokok di media luar, termasuk Depok, Bogor, dan Jakarta. PP perlu mengatur secara rinci larangan iklan di media luar ruang sehingga aturan setingkat Peraturan Daerah (Perda) memiliki acuan.

"Jadi kita perlu di dalam PP di-mention secara clear supaya daerah-daerah lain juga punya cantolan hukum yang kuat untuk melarang iklan rokok di daerah masing-masing," sebut Lisda/

Ditolak industri dan pedagang

Baru berupa Keppres, penolakan sudah datang dari pihak industri dan asosiasi pedagang. Adanya tarik ulur antar berbagai pihak ini seringkali membuat pembahasan untuk merevisi PP 109/2012 kian alot.

Penolakan datang dari Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI). Mereka menilai, adanya rencana larangan menjual rokok batangan makin menggerus pendapatan para pedagang warung.

Sekretaris Jenderal APPSI Mujiburrohman menaksir pelarangan penjualan rokok eceran bisa memiliki dampak yang lebih besar, lantaran kini daya beli masyarakat tengah melemah.

"Pembatasan akses untuk mendapatkan rokok pasti akan berdampak kepada penjualan. Kami memperkirakan, jika aturan ini diberlakukan, omzet kami bisa menurun lebih dari 30 persen," ungkap Sekretaris Jenderal APPSI Mujiburrohman.

Sementara itu, Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) bakal mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenai rencana tersebut.

Ketua Umum APKLI Ali Mahsun menjelaskan, penjualan rokok secara eceran selama ini merupakan salah satu penopang utama pendapatan para pedagang kaki lima. Oleh karenanya, pelarangan itu bakal menggerus pendapatan pedagang kaki lima secara signifikan.

Apalagi, jumlah pedagang kaki lima di Indonesia tidak sedikit. Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021 mencatat, pekerja informal yang mencakup pedagang kaki lima ada sebanyak 78,14 juta orang. Dari data itu, jumlah pedagang kaki lima diperkirakan mencapai lebih dari 25 juta orang

“Dampak kebijakan ini akan sangat signifikan mengurangi pendapatan, karena pedagang kaki lima biasanya memang membeli per bungkus di warung dengan harga normal," bebernya.

Misalnya satu bungkus mereka beli Rp 23.000, kemudian dia jual eceran 2-3 batang senilai Rp 5.000. Kalau kemudian penjualan eceran dilarang, pasti keuntungan akan anjlok,” lanjut Ali

Memang, tarik ulur antar berbagai pihak termasuk antar kementerian/lembaga mungkin akan terjadi dalam prosesnya. Lisda berpendapat, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mungkin akan memihak pihak industri.

Sementara, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berusaha menurunkan prevalensi perokok anak dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menaikkan cukai agar rokok tak mudah diakses.

"Jadi memang akan menjadi tarik ulur. Jadi apakah (proses revisi) itu akan panjang, kalau sekarang mungkin prosesnya masih panjang sampai disahkan menjadi PP dengan poin-poin yang kita harapkan tadi," jelas Lisda.

https://nasional.kompas.com/read/2022/12/29/10573591/jalan-panjang-tekan-angka-anak-perokok-niat-jokowi-revisi-pp-lansung-dilawan

Terkini Lainnya

Respons Luhut Soal Orang 'Toxic', Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Respons Luhut Soal Orang "Toxic", Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Nasional
Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Nasional
Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Nasional
Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

Nasional
Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasional
Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke