Lantas, apabila metode hard approach terbukti tidak menyelesaikan masalah, apakah metode soft approach seperti negosiasi lebih efektif?
Studi dari RAND Corporation tersebut seperti membuktikan bahwa cara-cara intelijen maupun transisi suatu kelompok menjadi gerakan politik menjadi metode yang lebih sesuai.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana mungkin soft approach seperti negosiasi bisa dilakukan apabila berhadapan dengan pelaku teror yang notabene memiliki jalan berpikir yang “irasional”?
Perlu dipahami bahwa pernyataan Mantan Presiden AS, George W. Bush, pada 2004 lalu seperti yang tertera di awal tulisan ini bahwa tidak mungkin bernegosiasi dengan teroris karena pola pikir irasionalnya adalah sesuatu yang keliru.
Dalam buku Rational Extremism: The Political Economy of Radicalism oleh Ronald Windtrobe, dijelaskan bahwa aksi terorisme bom bunuh diri pada dasarnya adalah tindakan yang sepenuhnya rasional, akibat adanya “transaksi nilai” antara solidaritas transendental di kalangan para teroris tempat ia berjuang dengan keyakinan yang dianutnya.
Otak pelaku teror pada dasarnya justru adalah aktor rasional yang memiliki motif politik, dan membuat mereka merupakan aktor yang dapat diajak untuk bernegosiasi.
Pemimpin kelompok teror biasanya selalu memiliki tujuan politik tertentu berdasarkan latar belakang ataupun ideologinya. Meski perlu digarisbawahi bahwa negosiasi hanya dapat dilakukan dengan kelompok teror yang memiliki tujuan politik yang jelas dan terang.
Contoh konkret seperti halnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang kini konfliknya telah berakhir dan diberikan ruang dalam perpolitikan di Provinsi Aceh.
Pada dasarnya, ciri-ciri kelompok teror yang lebih sulit diajak untuk bernegosiasi, selain tujuan politiknya yang tidak terbaca secara jelas, adalah kelompok yang termotivasi oleh ideologi totalitarianisme, di mana membuat cara berpikir pengikutnya tertutup dan tidak menerima perbedaan akibat ideologi tersebut.
Kondisi sosio-ekonomi masyarakat juga menjadi faktor yang mempersulit terjadinya negosiasi.
Meskipun demikian, perlu diingat bahwa terdapat risiko potensial dari negosiasi dengan kelompok teror tersebut. Negosiasi dapat memberikan kesan bahwa seolah-olah aksi dari kelompok teror tersebut mendapatkan legitimasi ataupun pengakuan dari negara.
Negosiasi juga dapat mengubah stigma kelompok teror di masyarakat. Mereka justru dapat memanfaatkan momen negosiasi tersebut untuk membangun kekuatan baru, dan melakukan gerakan teror lain di masa depan.
Negosiasi dengan teroris juga dapat memengaruhi hubungan politik luar negeri suatu negara, yang menaruh perhatian pada isu-isu spesifik yang melibatkan kelompok tersebut.
Menurut penulis secara pribadi, jalan terbaik dalam bernegosiasi dan mengakhiri kelompok teror di Indonesia, sekaligus meminimalisasi dampak negatif yang timbul dari negosiasi tersebut, adalah melalui jalur-jalur intelijen.
Carl Miller dalam artikelnya berjudul “Is it Possible and Preferable to Negotiate with Terrorists?”, menjelaskan bahwa salah satu cara yang dapat dilakukan pemerintah untuk bernegosiasi dengan pelaku teror adalah melalui operasi-operasi clandestine.