“No nation can negotiate with terorrists. For there is no way to make peace with those whose only goal is death.” – George W. Bush, 4 April 2004.
KETIKA kita mendengar kata “teroris”, seringkali yang ada di benak kita adalah seseorang yang tergerak untuk melakukan teror dengan alasan maupun motif yang irasional.
Motif tersebut dapat berasal dari berbagai macam ideologi ataupun paham radikal yang melampaui logika berpikir dan seakan ”mencuci otak” manusia.
Perilaku bom bunuh diri di Astanaanyar, Bandung, misalnya, yang diketahui terindikasi merupakan perilaku teror dengan motivasi agama, semakin menunjukkan bahwa irasionalitas sangat melekat pada pelaku teror.
Mengorbankan nyawa manusia hanya untuk menghilangkan nyawa manusia lainnya dan menebarkan ketakutan tentu adalah cara yang tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun.
Hal inilah yang terkadang membuat teroris dianggap memiliki irasionalitas, di mana keyakinan dan paham yang dianutnya seakan menutupi nalar logikanya.
Irasionalitas pelaku teror inilah yang membuat negara terkadang menempuh cara-cara kekerasan dalam menumpas terorisme.
Dibanding melakukan negosiasi, yang cenderung memakan waktu dan tenaga, metode hard approach cenderung lebih mudah dilakukan untuk membasmi aksi-aksi teror.
Namun, apakah metode-metode hard approach tersebut terbukti dapat menghilangkan berbagai aksi teror di masa depan secara permanen?
Faktanya, hingga saat ini aksi-aksi teror dengan doktrin agama tetap kerap kali terjadi di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Kejadian bom Astanaanyar seperti menegaskan hal tersebut.
Studi yang dilakukan RAND Corporation pada 2008, meneliti 648 kelompok teror di dunia dalam kurun waktu 1968 hingga tahun 2008.
Hasil dari studi tersebut menunjukkan bahwa hanya 7 persen saja dari total kelompok teror tersebut yang gerakannya berakhir akibat dihancurkan oleh kekuatan militer negaranya.
Sebanyak 40 persen kelompok teror berakhir akibat aksi yang dilakukan kepolisian ataupun intelijen, dan 43 persen lainnya berakhir akibat transisi kelompok teror tersebut ke dalam proses politik suatu negara.
Sisanya? Sebanyak 10 persen kelompok tersebut mengafirmasi kemenangan (tercapainya kepentingan) gerakan teroris.
Studi ini menyimpulkan bahwa gerakan teror tidak akan mudah diselesaikan secara permanen, apabila metode represif seperti penggunaan kekuatan senjata tetap terus digunakan.
Lantas, apabila metode hard approach terbukti tidak menyelesaikan masalah, apakah metode soft approach seperti negosiasi lebih efektif?
Studi dari RAND Corporation tersebut seperti membuktikan bahwa cara-cara intelijen maupun transisi suatu kelompok menjadi gerakan politik menjadi metode yang lebih sesuai.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana mungkin soft approach seperti negosiasi bisa dilakukan apabila berhadapan dengan pelaku teror yang notabene memiliki jalan berpikir yang “irasional”?
Perlu dipahami bahwa pernyataan Mantan Presiden AS, George W. Bush, pada 2004 lalu seperti yang tertera di awal tulisan ini bahwa tidak mungkin bernegosiasi dengan teroris karena pola pikir irasionalnya adalah sesuatu yang keliru.
Dalam buku Rational Extremism: The Political Economy of Radicalism oleh Ronald Windtrobe, dijelaskan bahwa aksi terorisme bom bunuh diri pada dasarnya adalah tindakan yang sepenuhnya rasional, akibat adanya “transaksi nilai” antara solidaritas transendental di kalangan para teroris tempat ia berjuang dengan keyakinan yang dianutnya.
Otak pelaku teror pada dasarnya justru adalah aktor rasional yang memiliki motif politik, dan membuat mereka merupakan aktor yang dapat diajak untuk bernegosiasi.
Pemimpin kelompok teror biasanya selalu memiliki tujuan politik tertentu berdasarkan latar belakang ataupun ideologinya. Meski perlu digarisbawahi bahwa negosiasi hanya dapat dilakukan dengan kelompok teror yang memiliki tujuan politik yang jelas dan terang.
Contoh konkret seperti halnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang kini konfliknya telah berakhir dan diberikan ruang dalam perpolitikan di Provinsi Aceh.
Pada dasarnya, ciri-ciri kelompok teror yang lebih sulit diajak untuk bernegosiasi, selain tujuan politiknya yang tidak terbaca secara jelas, adalah kelompok yang termotivasi oleh ideologi totalitarianisme, di mana membuat cara berpikir pengikutnya tertutup dan tidak menerima perbedaan akibat ideologi tersebut.
Kondisi sosio-ekonomi masyarakat juga menjadi faktor yang mempersulit terjadinya negosiasi.
Meskipun demikian, perlu diingat bahwa terdapat risiko potensial dari negosiasi dengan kelompok teror tersebut. Negosiasi dapat memberikan kesan bahwa seolah-olah aksi dari kelompok teror tersebut mendapatkan legitimasi ataupun pengakuan dari negara.
Negosiasi juga dapat mengubah stigma kelompok teror di masyarakat. Mereka justru dapat memanfaatkan momen negosiasi tersebut untuk membangun kekuatan baru, dan melakukan gerakan teror lain di masa depan.
Negosiasi dengan teroris juga dapat memengaruhi hubungan politik luar negeri suatu negara, yang menaruh perhatian pada isu-isu spesifik yang melibatkan kelompok tersebut.
Menurut penulis secara pribadi, jalan terbaik dalam bernegosiasi dan mengakhiri kelompok teror di Indonesia, sekaligus meminimalisasi dampak negatif yang timbul dari negosiasi tersebut, adalah melalui jalur-jalur intelijen.
Carl Miller dalam artikelnya berjudul “Is it Possible and Preferable to Negotiate with Terrorists?”, menjelaskan bahwa salah satu cara yang dapat dilakukan pemerintah untuk bernegosiasi dengan pelaku teror adalah melalui operasi-operasi clandestine.
Metode ini sekaligus dapat melindungi negara dari tekanan eksternal maupun kritik dari publik secara terbuka jika negosiasi gagal, namun mampu menghasilkan hal terbaik bagi konstituen domestik jika pembicaraan yang dilakukan berhasil.
Selain metode-metode intelijen, transisi aksi kelompok teror menjadi gerakan politik menjadi hal yang penting untuk benar-benar mengakhiri kekerasan dan konflik.
Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang dahulu sempat dilabeli pemerintah RI sebagai gerakan teroris, adalah salah satu bukti potret keberhasilan mitigasi konflik di Aceh yang kini mendapatkan tempat di masyarakat melalui jalur politik.
Partai Aceh, yang merupakan partai lokal di provinsi tersebut, memiliki cikal bakal yang bersumber dari Gerakan Aceh Merdeka.
MoU Helsinki menjadi momentum penting arah perubahan gerakan tersebut menjadi partai politik lokal.
Model transisi politik seperti GAM akhirnya banyak dijadikan rujukan oleh berbagai ilmuwan politik dalam diskursus studi resolusi konflik.
Meskipun jalan negosiasi dengan kelompok teror amat panjang dan rumit, hal tersebut saat ini masih merupakan cara terbaik untuk benar-benar mengakhiri konflik dan kekerasan dari kelompok teror secara permanen.
Menurut Miller, bernegosiasi dengan teroris bukanlah masalah mengkompromikan atau melupakan permasalahan masa lalu, akan tetapi memegang peranan yang pragmatis tentang masa depan kedua belah pihak yang berkonflik.
Hal ini merupakan bagian dari perspektif etis yang didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan, yang menempatkan penyelamatan nyawa, dan penghentian kekerasan serta pertumpahan darah sebagai prioritas tertinggi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.