KITAB Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, yang sudah disahkan DPR, mendapatkan banyak kritik. United Nations (UN) in Indonesia secara ekspisit menyebut sejumlah pasal dalam KUHP tersebut bertentangan atau melanggar kewajiban internasional Indonesia untuk menghargai hak asasi manusia (HAM).
Menurut mereka, beberapa pasal potensial mengkriminalisasi pekerja jurnalistik dan berdampak pada kebebasan pers. Pasal yang lain kemungkinan akan mendiskriminasi atau memiliki implikasi diskriminatif terhadap perempuan, remaja, kelompok minoritas seksual.
Lebih jauh UN in Indonesia menilai pasal-pasal tersebut juga memiliki dampak negatif pada serangkaian hak-hak kesehatan reproduksi dan seksual, hak-hak privasi, dan memperburuk kekerasan berbasis gender.
Baca juga: Soal Pasal Perzinaan di KUHP, Wamenkumham Sebut Perda Tak Lagi Berlaku
Bagian lain dari KUHP itu dinilai memiliki risiko akan memicu pelanggaran hak-hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Hal itu juga akan melegitimasi perilaku atau tindakan buruk masyarakat terhadap para penganut agama dan kepercayaan minoritas.
Perwakilan Human Rigths Watch di Indonesia, Andreas Harsono, menilai KUHP baru tersebut berisi ketentuan yang membuka peluang bagi terjadinya invasi pada ruang privat.
Hal yang serupa dikatakan oleh professor Tim Lindsay dari Melbourne University. Dalam tulisannya di The Conversation, Lindsay menyatakan bahwa masalah dalam KUHP baru itu bukan hanya tentang larangan seks di luar nikah, tetapi UU itu juga membahayakan kebebasan beragama dan pers.
Salah satu bagian KUHP baru yang dinilai bermasalah adalah tentang perzinaan. Pada pasal 411 poin 1 dikatakan “Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1(satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.”
Senada dengan itu, Pasal 412 poin 1 menyatakan “Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.”
Pada poin 2 di kedua pasal itu dijelaskan “Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan: (1) Suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan dan (2) orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.”
Persoalan paling mendasar dari kedua pasal itu adalah bahwa ketentuan tersebut secara terang-terangan memberi wewenang pada negara untuk melakukan intervensi atau invasi pada ruang privat. Pasal-pasal itu menyalahi prinsip negara modern yang mendorong pemisahan ruang publik dan ruang privat.
Hubungan seksual merupakan salah satu kebutuhan alamiah manusia. Hubungan seksual sejauh tidak dilakukan dengan paksaan adalah sesuatu yang seharusnya lumrah dan alamiah. Dengan memasukkan hubungan seksual di luar nikah sebagai perkara yang bisa dikenai hukum pidana, maka pasal ini secara tidak langsung memaksa semua warga negara untuk melakukan pernikahan.
Pertanyaannya adalah apa hak negara memaksa warga menikah? Karena negara secara tidak langsung mendorong praktik hubungan seksual di luar nikah sebagai subjek hukum, maka akan muncul banyak kelompok masyarakat yang potensial terjerat pidana.
Kelompok pertama adalah orang-orang yang memang memilih untuk tidak menikah. Pasal ini potensial menjerat mereka yang tidak setuju dengan institusi pernikahan.
Lembaga pernikahan bukan sesuatu yang secara mutlak harus dijalani semua orang. Memang banyak yang menganggap bahwa lembaga pernikahan memiliki nilai-nilai positif. Namun tidak sedikit juga orang yang menganggap lembaga pernikahan tidak begitu penting sehingga memilih untuk hidup melajang.
Pasal-pasal itu secara tidak langsung memaksa setiap warga negara untuk menikah. Pernikahan mestinya adalah pilihan, bukan paksaan. Sekali lagi, apa hak negara memaksa orang untuk menikah?