JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) meminta Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersungguh-sungguh menghadirkan sejumlah prajurit TNI Angkatan Udara (AU) dalam kasus dugaan korupsi pembelian helikopter Agusta Westland (AW)-101.
Sejumlah prajurit TNI AU sudah tiga kali tidak memenuhi panggilan Jaksa KPK untuk menjadi saksi.
Perkara ini menjerat Direktur PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh sebagai terdakwa tunggal.
Ketua Majelis Hakim Tipikor Jakarta Pusat Djuyamto tampak emosi dan meminta Jaksa KPK memanggil paksa mereka jika memang sudah memenuhi syarat pemanggilan yang sah.
“Yang lain asal memenuhi syarat panggilan yang sah, panggil paksa saja,” kata Djuyamto di ruang sidang, Senin (5/12/2022).
Djuyamto mengingatkan, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor memiliki kekuasaan kehakiman. Ia meminta semua bersikap adil memenuhi panggilan atas perintah pengadilan.
Djuyamto lantas membandingkan dengan sikap hakim agung yang datang memenuhi panggilan KPK. Ia mengingatkan agar jabatan saksi tidak diperhitungkan.
“Kami ini hakim, hakim agung, sama saja. KPK kan tahu sendiri, hakim agung dipanggil datang kok, jangan mentang-mentang punya kedudukan terus enggak menghargai negara begitu loh,” ujar Djuyamto.
Baca juga: Eks KSAU Agus Supriatna Tak Hadir Lagi pada Sidang Korupsi Pengadaan Helikopter AW-101
Ia menekankan agar KPK sungguh-sungguh menghadirkan para saksi yang sebagian besar merupakan prajurit TNI tersebut.
Ia tidak mempermasalahkan jika mereka harus mengikuti persidangan secara virtual.
Djuyamto mengingatkan kembali bahwa hakim agung, yang memiliki kekuasaan kehakiman, telah memberikan contoh dalam menyikapi proses hukum yang dijalani.
“Jadi, saya ulangi lagi di kekuasaan kehakiman sendiri sudah memberikan contoh proses hukum ya dijalani, hakim agung diperiksa datang,” ujar dia.
Sejumlah prajurit dan purnawirawan TNI AU tidak sudah tiga kali tidak memenuhi panggilan Jaksa KPK. Panggilan tersebut dilayangkan atas perintah pengadilan.
Mereka antara lain mantan Sekretaris Dinas Pengadaan Angkatan udara (Sesdisadaau) Fransiskus Teguh Santosa dan mantan Kepala Dinas Pengadaan AU (Kadisadaau) Heribertus Hendi Haryoko.
Mereka tidak menghadiri sidang pada 21 November dengan alasan sakit.
Kemudian, pada sidang 28 November, Heribertus kembali tidak memenuhi panggilan pengadilan dengan alasan menghadiri wisuda anaknya.
Sementara itu, Fransiskus mengaku sedang sakit. Masing-masing melampirkan surat keterangan dari pihak TNI.
Pada persidangan Senin (5/12/2022) mereka juga tidak hadir dengan alasan sakit.
“Saksi atas nama Fransiskus Teguh dan saksi Heribertus, dua orang saksi ini sakit Yang Mulia, ini ada rekam medisnya juga yang kemarin sudah disampaikan,” tutur Jaksa KPK Ariawan Agustiartono.
Dua purnawirawan TNI AU, mantan Kepala Staf TNI AU (KSAU) Marsekal (Purn) Agus Supriatna dan bawahannya, Marsda (purn) Supriyanto Basuki juga tak hadir.
Pada persidangan 21 November, 28 November, dan 5 Desember, Agus tidak hadir tanpa konfirmasi.
Sementara itu, Basuki tidak menghadiri sidang pada 21 November dengan alasan sakit. Pada 28 November dan 5 Desember, ia tidak memberikan konfirmasi alasan ketidakhadirannya.
“Atas nama Agus Supriatna dan Supriyanto Basuki masih belum ada jawaban. panggilan kami juga sudah kirim ke tempat tinggalnya tidak ada di rumahnya kosong,” kata Jaksa KPK Yoga Pratomo.
“Kami juga melalui jalur, tadi yang disampaikan bahwa resminya kami tetap bersurat melalui Panglima dan KSAU,” ujar dia.
Saat dihubungi Kompas.com, Agus mengaku belum menerima surat panggilan dari Jaksa KPK.
Terkait surat panggilan KPK diterima oleh penjaga rumahnya atau tidak, Agus meminta menanyakan langsung kepada Jaksa KPK.
Menurut Agus, hingga saat ini dirinya belum dipanggil secara patut oleh KPK.
“Kan sudah saya bilang sampai saat ini belum pernah terima,” kata Agus saat dihubungi Kompas.com, Senin (5/12/2022).
Nama Agus terseret dalam kasus ini karena pengadaan helikopter AW-101 tersebut dilakukan pada saat ia menjabat sebagai KSAU.
Dalam dakwaannya, Jaksa menduga korupsi pengadaan AW-101 itu dilakukan secara bersama-sama dengan sejumlah pihak, baik sipil maupun anggota TNI AU.
Irfan juga didakwa membuat negara mengalami kerugian sebesar Rp 738,9 miliar. Ia juga disebut memperkaya diri sendiri, orang lain, dan korporasi.
Dakwaan Jaksa KPK itu dibantah Agus dan pengacaranya. Mereka menilai dakwaan itu asal-asalan. Pengacara juga menyebut Agus bahkan tidak menyentuh yang tersebut sama sekali.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.