Upaya memperbarui KUHP sudah mulai muncul sejak berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional pada 1958.
Gagasan pembaruan KUHP juga dibahas dalam Seminar Hukum Nasional I pada 1963.
Sejumlah akademisi yang merupakan pakar hukum turut terlibat dalam penyusunan RKUHP. Mereka adalah, Prof Soedarto, Prof Roeslan Saleh, Prof Moeljanto, Prof Satochid Kartanegara, Prof Oemar Seno Adji, Prof Andi Zainal Abidin, Prof Barda Nawawi Arief, Prof Muladi, Prof Mudzakir, dan Chairul Huda.
Baca juga: RKUHP Disahkan Besok, Komnas HAM: Saya Rasa DPR Paham Masih Banyak yang Tak Puas
Beberapa pakar hukum yang menjadi anggota tim penyusun RKUHP bahkan sudah wafat.
Draf RKUHP sebenarnya selesai disusun pada 1993. Namun, pembahasannya terhenti di masa Menteri Kehakiman Oetojo Oesman.
Pembahasan RKUHP kembali dilanjutkan pada masa Menteri Kehakiman Muladi (1998), Menkumham Yusril Ihza Mahendra (2001-2004), dan Hamid Awaluddin (2004-2007).
Upaya membahas dan mengesahkan RKUHP dimulai kembali sejak 2014 oleh DPR.
Rencana pemerintah buat mengesahkan RKUHP pada 2019 sempat menuai penolakan keras dari masyarakat. Hal itu ditandai dengan gelombang demonstrasi mahasiswa di berbagai kota di Indonesia pada 23-24 September 2019.
Penolakan itu dipicu oleh keberadaan sejumlah pasal di dalam RKUHP yang kontroversial dan berpotensi terjadinya kriminalisasi terhadap masyarakat.
Hingga menjelang disahkan, kelompok masyarakat sipil menilai RKUHP masih mengandung sejumlah pasal yang bermasalah.
Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil Minta Larangan Unjuk Rasa dalam RKUHP Dievaluasi
Sebanyak 11 pasal yang menjadi sorotan dari koalisi masyarakat sipil adalah:
Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil, Citra Referandum, menilai masih ada pasal karet yang diterapkan dalam RKUHP.
Menurut dia, draf RKUHP terbaru yang bertanggal 30 November 2022 masih menyimpan pasal-pasal yang dapat mengekang kebebasan demokrasi.
Baca juga: Mahfud Sebut Pengesahan RKUHP Sudah Sesuai Prosedur
Salah satunya soal larangan menyebarkan paham komunisme atau marxisme dan leninisme.
“Pasal ini akan menjadi pasal karet dan dapat menghidupkan konsep pidana subversif seperti yang terjadi di Orde Baru,” ujar Citra.