USAI sudah perhelatan akbar KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) G20 di Bali. Para pemimpin negara, diplomat dan delegasi peserta konferensi sudah kembali ke negara masing-masing.
Tentu dengan kesan dan kenangan masing-masing tentang persidangan sampai malam, perdebatan kalimat per kalimat untul deklarasi, kuliner Bali, dan pertunjukan spektakuler di pelataran Garuda Wisnu Kencana.
Tinggal kini publik dalam negeri bertanya: apa manfaat KTT itu bagi Indonesia, utamanya bagi rakyat?
Sepotong pertanyaan yang wajar. Sebab, rakyat membutuhkan akuntablitas dari pemerintah untuk penyelenggaraan acara yang memakan biaya tak sedikit.
KTT G20 telah menyajikan pemandangan dalam dunia dimensi: fisik dan nilai. Secara fisik, para pemimpin negara menyaksikan dengan mata kepala sendiri kelancaran prosiding persidangan hingga melahirkan kesepakatan politik dalam Leaders’ Declaration.
Komitmen program konkret (tangible results) diyakini memberi manfaat langsung bagi rakyat berbagai bangsa.
Pagelaran budaya disajikan dengan sangat spektakuler mengundang decak kagum. Dari situ terpancar marwah Indonesia yang profesional, baik diplomat yang melakukan negosiasi maupun seniman yang menggelar pertunjukan budaya. Itu dari dimensi fisik.
Tapi, nilai apa yang memberi inspirasi (inspiring values) dari penyelenggaraan KTT G20 di Bali itu?
Sistem nilai bagi suatu masyarakat tersimpul dalam pandangan hidup bangsanya dan ideologi negaranya.
Secara politik dan konstitusional, pandangan hidup bangsa dan ideologi negara adalah Pancasila. Ini kesepakatan final.
Karena ia final, maka wajar jika Pancasila diaktualisasikan dalam pri-kehidupan bangsa dan negara, baik dalam tataran prilaku individu maupun pemerintah.
Dalam tataran pemerintah, Pancasila justru menjadi sumber nilai bagi arah haluan negara, baik dalam konteks kebijakan maupun praksis.
Terkait konteks praksis, muncul satu pertanyaan: apakah dalam KTT G20 Bali ada nilai-nilai Pancasila yang menginspirasi proses dan hasil konferensi tersebut?
Refleksi nilai Pancasila dalam KTT G20 bisa dilihat dalam tiga aspek amatan: partisipasi negara, subtansi konferensi, dan hasil konkret konferensi.
Pertama, dilihat dari aspek partisipasi negara anggota, Indonesia telah berhasil mempertemukan pihak-pihak yang bertikai dalam satu forum.