Hal ini dikarenakan konstruksi frasa yang tidak memberikan detail tafsiran bentuk penghinaan terhadap lembaga negara. Apakah penghinaan dapat pula termasuk ketidapuasan terhadap fungsi, kewenangan, performa kinerja, identitas dan berbagai hal lain yang sangat mungkin ditujukan oleh lembaga negara.
Adapun makna kekuasaan umum dan lembaga negara sangatlah luas. Hal ini dikarenakan perkembangan kelembagaan negara pascaamandemen sangatlah pesat.
Sehingga banyak bermunculan berbagai lembaga negara independen dan lembaga negara lainnya.
Belum lagi lembaga-lembaga daerah yang juga dapat dikategorikan sebagai kekuasaan umum. Bahkan realitas hari ini menunjukkan masih banyak problematika dalam memetakan kelembagaan negara sesuai fungsi dan kewenangannya.
Hal ini tentunya akan mempersulit penegak hukum maupun warga negara dalam memahami pasal ini.
Semakin banyak pemahaman yang mungkin timbul dari sebuah ketentuan pidana menunjukkan semakin banyak kemungkinan penyalahgunaan dan berpotensi merugikan objek yang mungkin menjadi pelaku tindak pidana.
Salah satu pesan dari perjuangan amandemen UUD 1945 adalah untuk mempertegas kedaulatan di tangan rakyat.
Pesan Pasal 2 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa seluruh lembaga perwakilan rakyat pengisian jabatannya mesti harus melalui pemilihan umum tidak boleh lagi ada yang diangkat seperti sebelumnya.
Hal ini menandakan rakyat berperan besar dalam menentukan legitimasi lembaga negara. Oleh karenanya kewibawaan lembaga negara harus ditentukan oleh warga negara bukan menggantungkannya kepada ancaman pidana.
Keberadaan ancaman pidana untuk menjaga kewibawaan lembaga negara justru berpotensi mengganggu kekuasaan warga negara sebagai pemberi legitimasi.
Dalam lingkup yang lebih luas, mekanisme demokrasi juga ditunjukkan dengan memberikan hak-hak sipil dan politik dalam proses bernegara.
Perlindungan hak-hak politik inilah yang perlu untuk dikedepankan dalam hal perlindungan kehormatan lembaga.
Partisipasi politik harus dipahami tidak cukup hanya dengan menghitung kehadiran warga negara dalam bilik suara dalam suatu pemilihan umum.
Partisipasi politik warga negara tidak selesai dengan berakhirnya pemilu. Warga juga diminta perannya bukan saja dalam menentukan siapa-siapa saja yang menjadi wakilnya, namun juga berpengaruh dalam setiap pengambilan kebijakan negara.
Mengutip putusan Mahkamah Konstitusi mengenai meaningful participation dalam putusan No. 91/PUU-XVIII/2020, disebutkan bahwa warga negara perlu untuk diberikan ruang partisipasi bermakna.