PUBLIK di Amerika Serikat kembali dihentakan berita Washington Post, 16 November 2022. Media itu melaporkan bahwa media sosial telah menelan korban anak-anak.
Seorang Ibu, Maurine Molak mengatakan putranya David, 16 tahun, bunuh diri setelah berbulan-bulan menghadapi cyberbullying di platform media sosial yang lambat menanggapi laporan mereka.
Laporan itu dilansir Washington Post dengan judul Their kids’ deaths were tied to social media. They want Congress to act.
Dalam rilis berita itu disebutkan bahwa anak kesayangannya tidak bisa menghentikan kondisi itu, demikian juga orangtuanya.
Laporan Washington Post juga mengungkap kasus lain yang menimpa keluarga Deb Schmill.
Putri Deb, bernama Becca, meninggal karena keracunan fentanyl, obat-obatan yang diperolehnya melalui media sosial dan kemudian digunakan bersama seorang temannya.
Realitas ini setidaknya telah menunjukan "darurat media sosial" bagi anak-anak. Fenomena child cyberbullying dan "darurat medsos" bagi anak-anak terjadi hampir di semua belahan dunia yang masyarakatnya menjadi pengguna medsos.
Tidak terkecuali Indonesia. Kita tentu saja tidak boleh membiarkan hal ini dan harus segera mencegahnya.
Sebuah artikel berjudul It’s hard to learn when you’re being bullied and left out yang ditulis Heather Sargeant, Director of Marketing and Communications, with contributions from Roots of Empathy, 3/8/2022, mengutip pernyataan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyatakan bahwa, “Bullying memengaruhi sebagian besar anak-anak, mengorbankan kesehatan, kesejahteraan, emosional, dan pekerjaan akademik mereka. Hal ini juga memiliki konsekuensi jangka panjang yang berlanjut, hingga dewasa.”
Intimidasi bisa menjadi lebih buruk ketika anak-anak kembali ke sekolah setelah tiga tahun sekolah dengan penuh isolasi.
Heather juga mengutip data Public Safety Canada yang menyatakan, 47 persen orangtua Kanada memiliki setidaknya satu anak yang telah menjadi korban bullying, dan sepertiga dari populasi pernah mengalami bullying saat masih kecil.
Berkembang pesatnya pengguna internet, masifnya pengguna medsos di kalangan anak-anak, ditambah lagi dengan dampak pandemik yang mengubah sekolah luring menjadi daring, telah secara nyata mengalihkan berbagai fenomena bullying ke media sosial secara masif.
Di AS, Maurine, dan puluhan orangtua yang anaknya meninggal atau terluka karena insiden terkait dengan media sosial menyerukan kepada Kongres untuk turun tangan.
Mereka meminta agar kongres segera mengesahkan undang-undang yang dapat mencegah tragedi seperti yang mereka alami.
UU itu akan memaksa perusahaan teknologi menerapkan pelindungan keamanan yang lebih tinggi untuk anak-anak dan mengambil langkah untuk melindungi data pribadi mereka.