Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Prof. Dr. Ahmad M Ramli
Guru Besar Cyber Law & Regulasi Digital UNPAD

Guru Besar Cyber Law, Digital Policy-Regulation & Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Darurat Medsos untuk Anak, Cyberbullying, dan Pentingnya Pelindungan Data Pribadi

Kompas.com - 21/11/2022, 13:52 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PUBLIK di Amerika Serikat kembali dihentakan berita Washington Post, 16 November 2022. Media itu melaporkan bahwa media sosial telah menelan korban anak-anak.

Seorang Ibu, Maurine Molak mengatakan putranya David, 16 tahun, bunuh diri setelah berbulan-bulan menghadapi cyberbullying di platform media sosial yang lambat menanggapi laporan mereka.

Laporan itu dilansir Washington Post dengan judul Their kids’ deaths were tied to social media. They want Congress to act.

Dalam rilis berita itu disebutkan bahwa anak kesayangannya tidak bisa menghentikan kondisi itu, demikian juga orangtuanya.

Laporan Washington Post juga mengungkap kasus lain yang menimpa keluarga Deb Schmill.

Putri Deb, bernama Becca, meninggal karena keracunan fentanyl, obat-obatan yang diperolehnya melalui media sosial dan kemudian digunakan bersama seorang temannya.

Realitas ini setidaknya telah menunjukan "darurat media sosial" bagi anak-anak. Fenomena child cyberbullying dan "darurat medsos" bagi anak-anak terjadi hampir di semua belahan dunia yang masyarakatnya menjadi pengguna medsos.

Tidak terkecuali Indonesia. Kita tentu saja tidak boleh membiarkan hal ini dan harus segera mencegahnya.

Dampak buruk bullying

Sebuah artikel berjudul It’s hard to learn when you’re being bullied and left out yang ditulis Heather Sargeant, Director of Marketing and Communications, with contributions from Roots of Empathy, 3/8/2022, mengutip pernyataan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyatakan bahwa, “Bullying memengaruhi sebagian besar anak-anak, mengorbankan kesehatan, kesejahteraan, emosional, dan pekerjaan akademik mereka. Hal ini juga memiliki konsekuensi jangka panjang yang berlanjut, hingga dewasa.”

Intimidasi bisa menjadi lebih buruk ketika anak-anak kembali ke sekolah setelah tiga tahun sekolah dengan penuh isolasi.

Heather juga mengutip data Public Safety Canada yang menyatakan, 47 persen orangtua Kanada memiliki setidaknya satu anak yang telah menjadi korban bullying, dan sepertiga dari populasi pernah mengalami bullying saat masih kecil.

Berkembang pesatnya pengguna internet, masifnya pengguna medsos di kalangan anak-anak, ditambah lagi dengan dampak pandemik yang mengubah sekolah luring menjadi daring, telah secara nyata mengalihkan berbagai fenomena bullying ke media sosial secara masif.

Di AS, Maurine, dan puluhan orangtua yang anaknya meninggal atau terluka karena insiden terkait dengan media sosial menyerukan kepada Kongres untuk turun tangan.

Mereka meminta agar kongres segera mengesahkan undang-undang yang dapat mencegah tragedi seperti yang mereka alami.

UU itu akan memaksa perusahaan teknologi menerapkan pelindungan keamanan yang lebih tinggi untuk anak-anak dan mengambil langkah untuk melindungi data pribadi mereka.

Bagaimana di Indonesia?

Kita juga harus memberikan perhatian khusus terhadap hal ini. Keterlibatan anak dalam media sosial di Indonesia, saat ini meningkat secara signifikan. Hal ini tidak lepas dari dampak pandemi.

Metode sekolah daring telah memicu penggunaan internet usia dini. Anak-anak usia Sekolah Dasar, bahkan lebih belia, mulai menjadi "netizen" dadakan saat dimulainya belajar online.

Aktivitas daring ternyata tidak berhenti di situ. Kegiatan Online lanjutan dengan teman sekolah setelah jam pelajaran, berselancar di media sosial sebelum anak tidur, dan browsing konten sudah menjadi bagian keseharian anak adalah realitas saat ini.

Orangtua juga banyak yang tidak bisa mengontrol terus-menerus, apalagi anak yang sudah dibekali smartphone dan memiliki kamar terpisah.

Hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukan bahwa pengguna internet Indonesia pada rentang 2021-2022, yaitu 210,03 juta.

Jumlah itu meningkat 6,78 persen dibandingkan pada periode sebelumnya, yakni 196,7 juta orang. Dengan demikian, tingkat penetrasi internet di Indonesia adalah 77,02 persen populasi (Hasil Survei Profil Internet Indonesia, APJII, 2022).

Sementara itu data yang dirilis We are social menunjukan bahwa 191,4 juta pengguna internet Indonesia aktif di media sosial (We are Social-KEPIOS, Essential Digital Headllines Feb 2022).

Survei APJII menunjukan bahwa tingkat penetrasi internet paling tinggi justru terjadi pada rentang usia 13-18 tahun, yang mencapai 99,16 persen.

Survei itu juga mengungkapkan bahwa tingkat penetrasi internet pada kelompok usia 5-12 tahun adalah sebesar 62,43 persen. Data ini menunjukan bagaimana anak-anak telah menjadi bagian dari pengguna internet yang masif.

Data pribadi anak

Kita bersyukur bahwa akhirnya Indonesia telah memiliki Undang-Undang No. 27 tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), yang di dalamnya telah mengatur data pribadi anak.

Pada Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan bahwa Pemrosesan Data Pribadi anak diselenggarakan secara khusus.

Di samping itu, Pemrosesan Data Pribadi anak juga wajib mendapat persetujuan dari orangtua anak dan/atau wali anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal ini bersifat sebagai payung (umbrella norms) yang perlu ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan dan panduannya.

Frasa “Pemrosesan Data Pribadi anak diselenggarakan secara khusus”, perlu dirinci secara detail.

Hal strategis ini dapat diiplementasikan dalam norma peraturan pemerintah dan Peraturan Lembaga Pelaksana Pelindungan Data Pribadi (LPPDP) sebagai panduan teknis pelaksanaannya.

Ketentuan pada pasal 25 ayat (2) UU PDP yang menekankan Pemrosesan Data Pribadi anak wajib mendapat persetujuan dari orangtua anak dan/atau wali anak, harus dilaksanakan secara konsisten oleh platform digital. Ketentuan ini penting karena menjadi seleksi awal akses seorang anak ke media sosial.

Sanksi UU PDP

UU PDP mengancam pelanggaran terhadap pasal 25 ayat (2) dengan sanksi administrasi yang diatur pada Pasal 57 ayat (1).

Sanksi administratif tersebut berupa peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan pemrosesan Data Pribadi, penghapusan atau pemusnahan Data Pribadi, dan/atau denda administratif.

Sanksi administratif berupa denda administratif paling tinggi 2 persen dari pendapatan tahunan atau penerimaan tahunan, terhadap variabel pelanggaran, dapat dijatuhkan oleh LPPDP kepada pelanggarnya.

LPPDP yang menjadi instrumen institusi utama pelaksana UU PDP, nantinya perlu mengambil langkah konkret terkait keamanan data pribadi anak di media sosial.

Langkah-langkah yang dituangkan dalam bentuk regulasi teknis berupa panduan kebijakan ini diperlukan agar orangtua memiliki kontrol yang lebih besar atas penggunaan data pribadi anak.

Aturan yang dibuat juga harus secara nyata bisa memaksa pengendalian penggunaan data pribadi anak dalam aktivitas online oleh platform digital sebagai pengendali data.

Di samping UU PDP, ke depan soal pelindungan anak di ranah virtual perlu juga diatur secara lebih komprehensif dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). UU ITE saat ini sedang dalam proses di Parlemen.

Pasal-pasal yang terkait dengan mekanisme orangtua untuk melaporkan potensi insiden berbahaya terhadap anak kepada platform digital perlu diatur eksplisit.

Seperti kita ketahui, anak-anak dengan usia belianya, rentan dan rapuh atas ancaman cyberbullying, mengingat belum matangnya secara fisik dan psikis.

Fakta kasus di AS menunjukan bahwa mereka tidak cukup matang untuk menyikapi, atau menghindarinya. Orangtua yang lepas pengawasan juga menjadi faktor yang semakin membahayakan anak.

Apalagi jika anak tertutup tidak cukup kesempatan mengadu atau berbicara kepada orangtua karena kesibukannya. Padahal tindakan kekerasan online bisa berlangsung realtime kapan saja. Kasus di AS menunjukan bagaimana hal itu berakibat fatal.

Untuk melindungi anak, langkah implementatif pelindungan data pribadi anak secara khusus, sesuai UU PDP perlu diprioritaskan.

Langkah cyber security dan cyber safety, dan jalur lapor dan respons cepat pada platform digital adalah langkah preventif penting.

Terakhir, himbauan kepada semua orangtua untuk lebih intens mengawasi anak-anaknya saat online. Mendamping, menanyakan, mendengar dan memberi solusi atas keluhan mereka, harus dilakukan.

Berikan spirit dan jalan keluar jika mereka mulai merasa tertekan. Menghentikan online berkonten negatif, atau setidaknya membuat anak tidak aktif lagi di komunitas atau grup online tertentu yang berdampak buruk, dan mengalihkannya ke platform positif, adalah salah satu jalan keluarnya.

Sekaranglah saatnya melindungi anak-anak kita, dari bahaya "darurat media sosial".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Nasional
PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

Nasional
Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Nasional
PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

Nasional
ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

Nasional
Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasional
PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

Nasional
Demokrat Tak Ingin Ada 'Musuh dalam Selimut' di Periode Prabowo-Gibran

Demokrat Tak Ingin Ada "Musuh dalam Selimut" di Periode Prabowo-Gibran

Nasional
Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Nasional
Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Nasional
Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Nasional
Gugat Dewas ke PTUN hingga 'Judicial Review' ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Gugat Dewas ke PTUN hingga "Judicial Review" ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Nasional
Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Nasional
Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Nasional
KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com