POLITIK mempersembahkan pertunjukan secara riil: ketika pelakonnya bertemu lantas tidak berpelukan, menjadi viral.
Momen ini terjadi sewaktu Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertemu di acara puncak HUT Partai Golkar ke-58, saling bersalaman, tapi tidak pelukan selazimnya tokoh-tokoh bangsa bertemu.
Sesungguhnya dalam realitas sehari-hari kehidupan manusia, bersalaman tapi tidak berpelukan adalah hal lumrah. Biasa-biasa saja. Namun dalam dunia politik, sepertinya tidak begitu, lain nilainya.
Maka beredarnya video yang menarasikan Jokowi enggan memeluk Surya Paloh ramai jadi perbincangan, tafsir politik pun bermacam-macam.
Kendati begitu ada yang patut digarisbawahi dari momentum tersebut, yakni mempersoalkan salaman tak diiringi pelukan.
Faktor mempersoalkan itulah membuat dunia politik penuh sorotan terhadap penilaian bahasa tubuh. Jadinya, ketika tokoh-tokoh politik tersenyum, bersalaman, atau pun berpelukan, selalu menyimpan nilai-nilai semiotika, sebuah lambang pertunjukan yang bersifat politis.
Semiotika politis itu, dalam sebutan negarawan Jerman abad 18, Otto Von Bismarck, begitu suram: "Jangan pernah mempercayai apa pun dalam politik sampai hal itu resmi diingkari."
Maka bersifat politis ini, dalam bahasa yang halus dan sopan, adalah ambivalensi, ketimbang dalam bahasa yang tandas disebut munafik.
Pertunjukan yang ambivalensi ini, kita sudah lama mengenal, selalu mengusung kredo: “tidak ada kawan dan lawan abadi, yang ada hanya kepentingan abad.”
Ambivalensi itu kemudian menjadi lambang yang jelas. Ketika berpelukan atau memunggungi, dalam politik, ini cuma lambang.
Tersenyum atau bersalaman adalah lambang. Termasuk berdebat atau pun berkoalisi, pun lambang. Pada sisi yang bersamaan ini adalah kerumitan.
Di sini, kita bisa sepakat pada Albert Einstein, jenius ahli fisika, yang menilai: “politik jauh lebih rumit daripada fisika." Karena rumit, ia tidak bisa ditafsirkan hanya secara denotatif.
Ketika berpelukan, yang secara faktual dan denotatif maknanya antara lain membuat hubungan jadi lebih harmonis, atau pelukan adalah semacam cara untuk menunjukkan rasa ketidaksendirian —justru dalam pertunjukan politik makna begitu tidak semata denotatif, mengundang banyak tafsir.
Sewaktu Jokowi tidak berpelukan dengan Surya Paloh di acara HUT Golkar ke-58 itu menjadi viral, karena sebagian besar publik memberi tafsir secara denotatif.
Begitu juga di lain kesempatan saat acara penutupan Kongres Kedua Partai Nasdem dan HUT ke-8 Partai Nasdem di Jakarta International Teathre, beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo berpelukan dengan Surya Paloh menjadi viral, publik pun menafsirkan secara denotatif.
Padahal berpelukan atau tidak berpelukan, dalam pertunjukan politik, tidak bisa secara tunggal ditafsirkan dalam kaidah denotatif.
Sejarah membuktikan, dalam pertunjukan politik masa lalu, Letnan Kolonel Van Beek, sang komandan pasukan komando Belanda, tersenyum pada Soekarno lalu memeluknya. Setelah itu, Soekarno dan Hatta diciduk.
Bahkan dalam sejarah yang lebih tragis lagi di mana Junius Brutus begitu anggun tersenyum, memeluk Julius Caesar, kemudian menikamnya hingga penguasa Republik Romawi itu tumbang berlumurah darah.
Demikian pula kebencian, sesuatu yang berlawanan dari peluk dan senyum, dalam dunia politik tak bisa sepenuhnya ditafsirkan secara denotatif pula.
Contoh yang memukau ini diperlihatkan dalam kisah sejarah Jaka Berek, yang kita kenal bernama Raden Mas Ngabehi Sawunggaling.
Saat pesta perayaan untuk pengangkatan Jaka Berek menjadi adipati Surabaya, Belanda bersekongkol dengan Sawungrana dan Sawungsari untuk membunuh Sawunggaling dengan memberikan minuman yang telah diracuni.
Namun, hal tersebut diketahui oleh Adipati Cakraningrat, sehingga ia menumpahkan minuman itu. Justru karena itu Sawunggaling marah dan benci terhadap Adipati Cakraningrat, karena dinilainya mempermalukan dihadapan para tamu.
Tapi setelah Adipati Cakraningrat menjelaskan apa yang terjadi, Sawunggaling meminta maaf dan menjadi benci kepada Belanda. Sejak saat itu Sawunggaling berusaha mengusir keberadaan Belanda.
Dalam pertunjukan politik kontemporer Indonesia pun terjadi, di mana kebencian, aduhai, bisa berubah begitu mesranya.
Untuk contoh yang gurih ini, sebutlah di antaranya pada kisah Ali Mochtar Ngabalin. Politikus Partai Golkar ini, termasuk Amien Rais dari PAN, pada pertunjukan politik Pemilu 2014 itu ganas melayangkan kritik dan ujaran kebencian terhadap Joko Widodo.
Waktu itu, Partai Golkar dan PAN juga bukan bagian dari koalisi yang mendukung Jokowi.
Kemudian kejadian berikutnya, kita tahu, Ngabalin menjadi bagian dari pemerintah, menjadi tenaga ahli utama di Kantor Staf Kepresidenan, di bawah Kedeputian IV Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi.
Begitu pula Partai Golkar dan PAN, menjadi partai pendukung pemerintah. Sedangkan Amien Rais keluar dari Partai Amanat Nasional (PAN), masih melontarkan kritik-kritik sengit terhadap pemerintah dan Presiden Joko Widodo.
Kritik-kritik sengit Amien Rais ini, justru, dihadapi oleh Ali Mochtar Ngabalin. Tidak kalah sengit pula ia mengkritik bahwa ragam diksi yang dipakai Amien Rais selama mengkritik Presiden Jokowi lebih “cenderung bermakna membenci, ketimbang mencerahkan masyarakat.”
Maka publik yang kritis menyaksikan rangkaian pertunjukan politik begitu, sebaiknya tidak usah perangkap tafsir-tafsir denotatif semata. Semua itu hanya sebuah pertunjukan politik.
Kritik versus kritik, ujaran kebencian atau pujian, berpelukan atau memunggungi, tersenyum atau pun menyeringai, ketika diproduksi dari sebuah dunia yang penuh ambivalen semacam dunia politik, menjadi pertunjukan yang tidak usah diberi tafsir denotatif semata.
Karena di dalam pertunjukan ini, setiap kata dan gerak, setiap bloking dan adegan, adalah lambang dari sebuah lakon yang punya skenario: “tidak ada kawan dan lawan abadi, yang ada hanya kepentingan abadi.”
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.