Selain berobat, Lukas kerap menyatroni beragam kasino. Kunjungannya ke Jerman, juga tidak diketahui alasannya, apakah mendapat izin dari Kementerian Dalam Negeri atau tidak.
Umumnya, setiap kepala daerah yang akan pergi ke luar negeri – apapun urusan dan tujuannya - harus mendapat izin dan sepengetahuan dari menteri dalam negeri.
Lebih miris lagi, Mahfud MD menyebut pemerintah pusat telah mengeluarkan anggaran sebesar Rp 1.000,7 triliun sejak pemberlakukan Otonomi Khusus (Otsus) Papua tahun 2001 hingga sekarang.
Yang menyedihkan lagi, anggaran “jumbo” tersebut tidak memberi efek sama sekali untuk pengentasan kemiskinan rakyat Papua (Kompas.com, 23/09/2022).
Saat menempuh perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) periode 1988 – 1992, saya selalu diindoktrinasi “positif” oleh para pengajar UI yang legendaris mengenai makna keadilan yang hakiki.
Ada Profesor Poernadi Poerbatjaraka, Profesor Erman Radjaguguk, Profesor Loebby Lukman, Profesor Charles Himawan, Profesor Daud Ali, Profesor Hamid Attamimi, Profesor Tahir Azhary, Profesor Ismail Sunny, Profesor Mardjono Reksodiputro dan Profesor Selo Sumardjan yang kini semuanya sudah wafat. Mereka mengajarkan untuk selalu berani menegakkan keadilan walau keadaannya sulit, tidak mungkin dan menjadi lumrah di zaman edan.
“Fiat justitia ruat caelum” kata para guru besar yang begitu “digugu” dan “ditiru” itu menempa kepada kami para mahasiswa yang kini ada yang menjadi hakim, jaksa, pengacara, aktivis, dosen, pengusaha atau pengawai negeri serta swasta.
Pendekatan yang dilakukan Ketua KPK Firli Bahuri dengan menjenguk langsung Lukas Enembe di kediamannya di Jayapura, tetap kurang “elok” karena secara etika dan kepantasan ada yang tidak pas.
Jika konteksnya ingin memeriksa kesehatan dan pemeriksaan keterangan dari Lukas, harusnya cukup dengan mengirim tim medis dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) serta penyidik KPK. Sekali lagi tidak pantas jika Ketua KPK yang ikut menemui langsung tersangka korupsi.
Undang-Undang tentang KPK yang baru, tepatnya di Pasar 21 ayat 1 jelas menyebut pimpinan KPK tidak lagi menyandang status penyidik sebagaimana ditentukan dalam undang-undang sebelumnya.
Publik akan “membaca" bahwa pimpinan KPK memberlakukan standar ganda bagi tersangka korupsi dan seakan menggelar “karpet merah” untuk tersangka pemakan uang uang rakyat.
Adegan salaman, baku peluk dengan kerabat tersangka rasuah begitu menyesakkan dada para pengemis keadilan di republik ini. Premis hukum begitu tajam ditancapkan untuk rakyat kecil, tetapi “letoy” ke para elite “seakan-akan” menemukan pembenaran di kasus Lukas Enembe.
Kilah KPK yang telah melakukan pemeriksaan dan penggeledahan rumah Lukas pascakedatangan Ketua KPK Firli Bahuri hendaknya membuat kejelasan muara kasus Lukas akan di bawah kemana menjadi terang benderang.
Kasihan, warga Papua yang sudah lama “menikmati” jalannya birokrasi dan pelayanan publik di Provinsi Papua tidak berjalan dengan normal mengingat sang gubernurnya terus disibukkan dengan kasus hukum dan alasan kesehatan.
Dengan kasus perempuan “berkebaya merah” saja kita begitu heboh dan gaduh, sementara untuk kasus pemberian “karpet merah” bagi tersangka korupsi yang bernama Lukas Enembe kita begitu abai dan membirakan.
Kelaparan tidak boleh lagi terjadi di Tanah Papua dan keadilan harus tegak berdiri di Bumi Cenderawasih.
Sekali lagi, andai ayah angkat saya Presiden Organisasi Papua (OMP) Mozes Weror masih hidup, tentu mendiang akan kecewa setengah mati melihat korupsi dan kelaparan masih terjadi di Tanah Papua.
Saat saya bertandang ke Madang, Papua Nugini tahun 1995 silam, Mozes kerap bercerita kepada saya tentang obsesinya. Dia mencita-citakan rakyat Tanah Papua bisa sejahtera, makmur dan tidak ada yang kelaparan di negerinya sendiri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.