Dalam kasus Lesty harusnya ada pertimbangan dari penegak hukum tentang sense of victim, agar ada efek jera yang akan diterima oleh para pelaku KDRT.
Karena jalan damai sesungguhnya menjadi kerugian bagi si korban, dan menjadi preseden dalam upaya melawan KDRT dan memutus rantai kekerasan yang berulang. Pengaduan, minimal harus ditindaklanjuti dengan proses hukum.
Jika kemudian hari muncul kembali dalam intensitas yang lebih tinggi, apa kira-kira solusi yang akan dipilih Lesty? Apakah akan memaafkan dan damai kembali?
Atau menutup-nutupi kasusnya karena dapat menjadi preseden buruk bagi karirnya, karena publik sudah terlanjur kecewa, jika mengulang pengaduannya?
Apakah itu artinya konflik dalam sebuah rumah tangga itu bagian dari dinamika rumah tangga—termasuk di dalamnya KDRT?
Siklus kekerasan dapat saja terulang, dan banyak pasangan berada dalam situasi toxic relationship (hubungan yang buruk), karena tekanan agama, perkawinan, keberadaan anak-anak, keluarga besar dan faktor sosial-suara publik, seperti stigma buruk jika bercerai atau menyandang status single parents (janda).
Tapi sudahlah, keputusan jalan damai itu pilihan pribadi Lesty sebagai korban, minimal kita ambil pembelajarannya.
Bagaimanapun, penyelesaian melalui Keadilan Restoratif, harus mempertimbangkan penderitaan korban khususnya perempuan dan siklus KDRT yang sangat berpotensi berulang.
Karena ketika KDRT di restoratative Justice, lukanya tak akan mudah disembuhkan!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.