Terlepas dari perdebatan antara sisi syariah, pranks dan konsolidasi para pihak yang bertikai dan berdamai, kasus KDRT dengan solusi menggunakan restorative Justice masih banyak menimbulkan perdebatan.
Mengapa dan bagaimana restorative justice menjadi rujukan penyelesaian kasus?
Ketika polisi menerima keputusan Lesty dan kuasa hukumnya untuk berdamai dan menghentikan kasus, padahal Billar sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan, polisi mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Padahal dalam aturan UU yang berlaku, penghapusan KDRT dimaksudkan sebagai bentuk keadilan bagi para perempuan, agar KDRT yang dialaminya tidak berulang.
Hanya saja pemahaman yang kurang dan faktor sosial, budaya, agama sering membuat para korban memilih untuk mengalah atau berdamai.
Rumusan Keadilan Restoratif adalah penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.
Dalam kasus Lesty-Billar, argumentasi atau dalih penyelesaian menggunakan Keadilan Restoratif, merupakan alternatif langkah Polri dalam mewujudkan penyelesaian tindak pidana dengan mengedepankan Keadilan Restoratif.
Pilihan yang menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan keseimbangan perlindungan serta kepentingan korban dan pelaku tindak pidana yang tidak berorientasi pada pemidanaan sebagai bentuk hukum dalam masyarakat.
Mirip dengan pertimbangan dari sisi syariah yang mendorong pada upaya pemulihan sebagai jalan terbaiknya, jika tidak membahayakan dari sisi keamanan bagi korban KDRT.
Ketika korban berubah pikiran karena pertimbangan-pertimbangan seperti nama baik, keluarga, anak, apalagi atas dasar “cinta buta-bucin”, akan disalahpahami awam sebagai bentuk pranks atau sekedar main-main saja.
Pemicu KDRT, terutama karena faktor budaya patriarki—di mana laki-laki menjadi superior dan perempuan inferior.
Begitu juga pemahaman keliru tentang ajaran agama, atau faktor psikologis anak laki-laki yang meniru perilaku ayahnya ketika melakukan kekerasan yang sering disebut sebagai “kejahatan turun-temurun”. Edukasi menjadi solusi meminimalisir kasus agar tidak berulang.
Dari sisi hukum, KDRT bukan delik aduan. KDRT digolongkan kedalam empat macam, yakni kekerasan fisik (kekerasan), psikis (munculnya ketakutan, hilangnya rasa percaya diri), seksual (pemaksaan hubungan seksual, termasuk untuk tujuan komersil), dan ekonomi (penelantaran kewajiban-nafkah fisik).
Semua bentuk kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga bukan termasuk delik aduan, kecuali tiga jenis kekerasan saja yang disebut sebagai delik aduan, yaitu kekerasan fisik dan psikis yang menimbulkan penyakit, halangan menjalankan pekerjaan atau kegiatan sehari-hari serta kekerasan seksual.
Dengan demikian, kekerasan fisik dan psikis serta kekerasan ekonomi adalah delik umum yang tidak begitu saja dapat dicabut laporannya oleh korban, apalagi hanya dengan upaya perdamaian.