Menurut hasil Jajak pendapat Litbang Kompas pada 6-9 September 2022, survei menunjukkan 43,2 persen responden menyebutkan bahwa korupsi menjadi faktor utama yang menghambat jalannya demokrasi di Tanah Air dan darurat harus ditangani.
Hasil survei Global Corruption Barometer (GCB) 2020 oleh Transparency International Indonesia (TII) menyatakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah lembaga paling korup di Indonesia. Ada 51 persen responden menyatakan pendapatnya.
Temuan tersebut sejalan dengan tren di Asia di mana parlemen menjadi institusi publik yang paling korup.
Tingginya prevalensi korupsi juga masih menjadi faktor paling menghambat kemudahan berusaha di Indonesia. Skor Corruption Perception Index (CPI) Indonesia tahun 2021 sebesar 38 dan menempati urutan 96 dari 180 negara.
Di barisan berikutnya pejabat pemerintah daerah dengan persentase 48 persen, pejabat pemerintahan 45 persen, polisi 33 persen, pebisnis 25 persen, hakim/pengadilan 24 persen.
Kemudian presiden/menteri 20 persen, LSM 19 persen, bankir 17 persen, TNI 8 persen, dan pemuka agama 7 persen.
Jika awalnya kita masih bisa berharap pada satu-satunya lembaga antikorupsi yang punya taring kuat, bahkan rakyat siap menjadi tamengnya, kini harapan itu pupus.
KPK tak lebih dari institusi formal pemerintah yang bekerja memenuhi tenggat dan perintah, tak lagi independen, apalagi membongkar dan menguak mega kasus yang tidak terduga seperti dulu, yang membuat ribuan koruptor rontok!
Barangkali karena sepak terjangnya yang masif dan tak dapat lagi dikendalikan para pelaku tindak koruptor yang makin jengah dan tidak berkutik, KPK diamputasi kewenangan dan independensinya.
Pemerintah dengan segala kuasanya berada di belakang “pengkhianatan amanah rakyat” dalam pembongkaran kasus-kasus korupsi yang termasuk kategori kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) dengan para pelaku yang juga disemati istilah keren penjahat kerah putih (white collar crime).
Karena para pelaku sejatinya adalah mereka yang berada di garda depan para pejabat dan wakil rakyat yang paham seluk beluk hukum, dan semestinya menjalankan amanah, tapi justru berkhianat dengan melawan rakyat yang telah memberinya kepercayaan dan tanggung jawab.
Sialnya lagi para pelaku korupsi begitu lihai berasimilasi dari demokrasi lawas memasuki demokrasi transformasi. Bahkan dengan banyak akal bulus politik ketika meminta dukungan, para wakil rakyat memberikan janji dan bermain atraksi sulap senayan bermain politik uang.
Walhasil, para incumben terus bercokol dalam lingkaran politik yang sama, yang itu-itu juga dengan perilaku yang juga tak pernah bermetamorfosa menjadi santun dan baik.
Apa yang tersisa dari harapan publik dalam konteks gerakan pemberantasan korupsi, barangkali menyerahkan pada mekanisme hukum.
Setidaknya jika seorang pelaku korupsi bertindak jahat, ia akan digiring “sejenak” untuk mempertontonkan mukanya, bahwa ia salah satu pesakitan pekalu tindak korupsi, meskipun dengan mudahnya akan diganjar remisi.
Harus diakui, para pelaku tindak korupsi di Indonesia telah begitu bebal, bermuka badak. Bahkan dalam kondisi terbongkarnya kasus, masih memainkan pengadilan.
Dan menjadi sebuah keruntuhan kepercayaan ketika para terpidana kasus korupsi dengan begitu mudahnya mendapat remisi karena “berkelakuan baik” yang munafik dengan memainkan remisi sebagai prasyarat bebas bersyarat yang paling instan. Sebelum kembali lagi pada perilaku semua sebagai “residivis korupsi”.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.