Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Adif Rachmat Nugraha
Analis Kebijakan

Analis kebijakan dan anggota The Local Public Sector Alliance (LPSA)

Netralitas Politik ASN dan Momentum Penegakan Etika Pemerintahan

Kompas.com - 15/10/2022, 10:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA 22 September 2022, pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Netralitas Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pemilihan.

SKB yang diteken Menteri PANRB (Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi), Menteri Dalam Negeri, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BKN (Badan Kepegawaian Negara), Ketua KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara) dan Ketua Bawaslu (Badan Pengawas Pemilihan Umum) tersebut menggarisbawahi pentingnya netralitas politik ASN sebagai satu instrumen penting menjadikan proses pemilihan umum (pemilu) yang adil dan terbuka menyongsong tahun politik di 2024.

Netralitas politik menjadi prinsip paling awal dalam diskursus administrasi publik yang terus dipelihara hingga saat ini, di samping prinsip meritokrasi dan prinsip manajemen ilmiah (scientific management) dalam penyelenggaraan administrasi publik yang juga terus dijaga relevansinya.

Baca juga: Pemerintah Teken Keputusan Bersama Netralitas ASN dalam Pemilu 2024

Bukan tanpa alasan netralitas politik dalam birokrasi tetap ada, tak lain guna menghindarkan birokrasi dari jerat kepentingan dari kelompok-kelompok politik tertentu, yang muaranya tindakan birokrasi hanya akan menguntungkan kelompok tertentu. Sekali birokrasi, dan birokrat di dalamnya, tak netral, maka ia tak lagi mampu dan layak mendaku diri menjadi pelayan bagi seluruh masyarakat.

Pengalaman Indonesia di masa Orde Baru sedikit-banyak mengajarkan hal tersebut. Pengaruh politik Golongan Karya (Golkar) yang begitu hegemonik hingga sampai ke sistem kepegawaian nasional mewajibkan pegawai negeri sipil untuk loyal kepada Golkar, yang kala itu dengan cerdiknya tidak terklasifikasikan sebagai partai politik.

Dengan mudah, Golkar mampu memenangi pemilu sejak tahun 1971 hingga 1998, sebelum akhirnya tumbang akibat gelombang reformasi di bulan Mei 1998.

Beruntung, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) telah berupaya mencantumkan netralitas sebagai asas mendasar dalam penyelenggaraan manajemen ASN, yang didefinisikan bahwa “setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun”.

Selain itu, telah dibentuk Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dengan salah satu tugas utamanya yakni menjaga netralitas ASN.

Sejak tahun 2015 hingga tahun 2021, KASN telah menerima lebih dari 3.000 pengaduan pelanggaran netralitas ASN, mulai dari mengikuti kampanye dan mengampanyekan peserta kontestasi politik di media sosial, mengadakan kegiatan yang mengarah pada keberpihakan pada salah satu kontestan politik, hingga membuat keputusan yang menguntungkan atau merugikan salah satu kontestan politik.

Perlu perubahan

Namun demikian, selama ini titik berat penegakan netralitas politik dalam birokrasi baru kepada ASN sebagai objek intervensi, belum menyentuh bupati, wali kota, gubernur, dan menteri/kepala lembaga yang berlatarbelakang partai politik, yang juga notabene sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) dengan kewenangan mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan ASN.

Ketika posisi mereka sebagai pejabat publik dan PPK dijalankan bersamaan dengan kepentingan serta aktivitas politiknya, netralitas politik ASN-lah yang menjadi taruhannya. Timpangnya relasi kuasa antara mereka dengan para ASN menyebabkan politik mutasi bukan lagi barang yang aneh, khususnya di daerah.

Baca juga: Netralitas ASN dalam Kontestasi Demokrasi

Masih segar dalam ingatan kita ketika beberapa waktu lalu, salah satu menteri di Kabinet Indonesia Maju yang juga kader partai politik, menghadiri kegiatan politik bersama jajaran Pejabat Pimpinan Tinggi Madya di Kementeriannya, yang datang dengan menggunakan seragam partai politik sang Menteri.

Meskipun aksi tersebut berujung permohonan maaf, namun alasan yang diberikan justru sumir: menghormati kehadiran Menteri di kegiatan tersebut.

Belum lagi dengan kasus-kasus pelanggaran netralitas politik lainnya yang berserak di daerah, yang meneguhkan kedudukan kepala daerah sebagai patron dalam kultur birokrasi yang paternalistik.

Penegakan etika

Dalam menjawab tantangan tersebut, tampaknya pengaturan mengenai penegakan dan pengawasan netralitas politik ASN saja tidaklah cukup.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ma'ruf Amin: 34 Kementerian Sudah Cukup, tetapi Bisa Lebih kalau Perlu

Ma'ruf Amin: 34 Kementerian Sudah Cukup, tetapi Bisa Lebih kalau Perlu

Nasional
Ada Gugatan Perdata dan Pidana, KPK Mengaku Harus Benar-benar Kaji Perkara Eddy Hiariej

Ada Gugatan Perdata dan Pidana, KPK Mengaku Harus Benar-benar Kaji Perkara Eddy Hiariej

Nasional
Jokowi Resmikan Modeling Budi Daya Ikan Nila Salin di Karawang

Jokowi Resmikan Modeling Budi Daya Ikan Nila Salin di Karawang

Nasional
Jokowi Naik Heli ke Karawang, Resmikan Tambak Ikan Nila dan Cek Harga Pangan

Jokowi Naik Heli ke Karawang, Resmikan Tambak Ikan Nila dan Cek Harga Pangan

Nasional
Sidang SYL, KPK Hadirkan Direktur Pembenihan Perkebunan Jadi Saksi

Sidang SYL, KPK Hadirkan Direktur Pembenihan Perkebunan Jadi Saksi

Nasional
Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae dengan Korsel yang Belum Capai Titik Temu…

Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae dengan Korsel yang Belum Capai Titik Temu…

Nasional
Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah, Minta PBB Bertindak

Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah, Minta PBB Bertindak

Nasional
Ganjar dan Anies Pilih Oposisi, Akankah PDI-P Menyusul?

Ganjar dan Anies Pilih Oposisi, Akankah PDI-P Menyusul?

Nasional
Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

Nasional
Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Nasional
Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji, Menag: Semua Baik

Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji, Menag: Semua Baik

Nasional
Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet pada Pilkada DKI Jakarta

Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet pada Pilkada DKI Jakarta

Nasional
Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Nasional
Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Nasional
Utak-atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Utak-atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com