Personel Polri atau TNI yang terpilih menjadi ajudan RI-1 dan RI-2 memiliki rekam akademis dan prestasi yang bagus. Intelektualitas Teddy pasti di atas rata-rata.
Terbukti Teddy pernah menyabet penghargaan Seroja Wibawa Nugraha sebagai lulusan terbaik Program Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) XXI – TA 2017 Lemhanas RI.
Penghargaan Seroja Wibawa Nugraha begitu prestis karena hanya diberikan kepada peserta yang mendapat nilai akademis terbaik dan kertas karya perseorangan (taskap) terbaik pula.
Teddy juga pernah mendapat tanda kehormatan Bintang Bhayangkara Nararya dari Presiden Jokowi.
Ditunjuknya Teddy Minahasa sebagai Kapolda Jawa Timur tentu juga bukan tanpa sebab. Mantan Kapolres Malang ini dianggap layak mengepalai teritorial level A karena rentang pengalamannya yang panjang dan sukses.
Menjadi kapolda di wilayah-wilayah kelas utama seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah obsesi dari seorang jenderal.
Selain peluang “bertambahnya” bintang, potensi menapak jabatan yang lebih tinggi juga semakin terbuka lebar.
Bahkan ada sahabat saya yang berprofesi sebagai polisi juga menyebut, kapolda di Jawa begitu “basah”.
Hampir sebagian besar masyarakat mahfum, di luar gaji dan tunjangan resmi maka seorang kepala hampir dipastikan mendapat upeti, setoran dan komisi dari pihak-pihak lain seperti pengusaha bahkan dari kalangan “hitam” sekalipun.
Tetapi setidaknya, terbongkarnya kasus patgulipat barang bukti narkoba yang diotaki Teddy Minahasa semakin menguatkan sinyalemen lama – hampir mirip dengan bau kentut yang begitu mudah tercium, tetapi sulit untuk memastikan siapa yang kentut – kalau oknum polisi kerap “tipu-tipu” dalam penyimpanan barang bukti termasuk saat penghancurannya.
Saat saya menjadi pekerja media periode 1994 - 2003 dan diminta koordinator liputan menghadiri acara seremonial penghancuran barang bukti narkoba, saya dan para wartawan yang meliput kerap menduga-duga apa betul yang dibakar itu barang bukti narkoba?
Jangan-jangan yang dimusnakan hanyalah sebagian dari hasil penyitaan, sementara yang lebih besar lagi dimanfaatkan oleh petugas.
Teddy Minahasa begitu paham dengan nilai kapital 5 kilogram narkoba hasil “tilepan” barang bukti tetapi melupakan dampak destruktifnya bagi para pengguna terutama anak-anak muda.
Pasti Teddy Minahasa “lupa” kalau dirinya memiliki anak atau teman-temannya di komunitas Sobatku 87 SMPN 1 Pasuruan yang juga memiliki putra-putri.
Dari 5 kilogram narkoba yang diambilnya, Teddy memerintahkan anak buahnya untuk menggantinya dengan tawas agar saat pemusnahan barang bukti terlihat barang sitaan tetap tidak berkurang jumlah beratnya.
Dari 5 kilogram yang “diembat” Teddy, sekitar 1,7 kilogram narkoba sudah terjual dan tersebar oleh bandar dan pengedar tengik.
Wajah kepolisian kita saat ini terus diderah berbagai ragam kasus hingga terlihat babak belur. Wajah korps Bhayangkara bukan lagi “bonyok”, tetapi juga rusak dan memalukan.
Belum selesai dengan kasus menghebohkan pembunuhan Brigadir Nofriansyah Joshua Hutabarat atas perintah bekas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Irjen Ferdy Sambo kini muncul kasus Teddy Minahasa.
Dalam rentang waktu Juli hingga Oktober 2022 ini saja, turbulensi di tubuh korps kepolisian begitu maha dasyat. Ada dua jenderal bintang dua dinyatakan sebagai tersangka yang hina dina.
Sambo dijerat karena kasus pembunuhan dan Teddy Minahasa memperjualbelikan barang bukti narkoba.
Ada satu jenderal bintang satu yang turut merusak jalannya penyelidikan, puluhan perwira dan bintara serta tamtama yang terseret kasus Sambo dan Teddy Minahasa.