Dedi juga mengeklaim, berdasarkan penjelasan para ahli dan dokter spesialis, gas air mata bukan menjadi penyebab kematian para korban di Stadion Kanjuruhan.
Menurutnya, penyebab utama jatuhnya ratusan korban adalah karena berdesakan dan kekurangan oksigen.
"Dari penjelasan para ahli dan dokter spesialis yang menangani para korban, baik korban yang meninggal dunia maupun korban yang luka, dari dokter spesialis penyakita dalam, penyakit paru, penyakit THT, dan juga spesialis penyakit mata, tidak satu pun yang menyebutkan bahwa penyebab kematian adalah gas air mata tapi penyebab kematian adalah kekurangan oksigen,” klaim Dedi.
"Karena apa? Terjadi berdesak-desakan terinjak-injak, bertumpuk-tumpukan mengakibatkan kekurangan oksigen di pada pintu 13, pintu 11, pintu 14, dan pintu 3. Ini yang jadi korbannya cukup banyak,” tuturnya.
Baca juga: Temuan Komnas HAM: Massa di Kanjuruhan Terkendali, tapi Memanas karena Tembakan Gas Air Mata
Pernyataan polisi itu berbeda dengan temuan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) tragedi Kanjuruhan.
Anggota TGIPF Rhenald Kasali mengatakan, tembakkan gas air mata oleh personel Polri dalam tragedi tersebut bersifat mematikan.
Padahal, kata Rhenald, seharusnya polisi cukup menggunakan gas air mata yang kapasitasnya hanya untuk meredam agresivitas massa. Namun, yang terjadi dalam peristiwa Kanjuruhan tidak demikian.
“Jadi (gas air mata) bukan senjata untuk mematikan, tapi senjata untuk melumpuhkan supaya tidak menimbulkan agresivitas. Yang terjadi (di Kanjuruhan) adalah justru mematikan. Jadi ini tentu harus diperbaiki,” kata Rhenald saat ditemui di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (10/10/2022).
Rhenald mengatakan, korban yang terkena gas air mata awalnya memang tidak merasakan apa-apa. Namun, sehari berikutnya, mata mereka menghitam dan memerah.
Berdasarkan keterangan dokter, perlu waktu kurang lebih satu bulan bagi korban untuk memulihkan mata mereka.
Menurut Rhenald, polisi telah melakukan penyimpangan dan pelanggaran terkait ini, apalagi sejumlah gas air mata ternyata kedaluwarsa.
Dia menyebutkan bahwa posisi kepolisian di Indonesia bukan polisi yang berbasis militer, tetapi kepolisian sipil. Oleh karenanya, seluruh kinerja Polri seharusnya berdasar pada hak asasi manusia (HAM).
“Karena gas air mata itu, ingat ini adalah kalau kepolisian itu adalah sekarang ini bukan military police, bukan polisi yang berbasis militer, tapi ini adalah civilian police. Nah, maka polisi itu ditangankanani oleh kitab HAM,” kata Rhenald.
Lebih lanjut, TGIPF telah membawa sejumlah longsongan gas air mata yang kedaluwarsa untuk diperiksa di laboratorium.
“Salah satu kecurigaan kami adalah kedaluwarsa dan itu sudah dibawa ke lab semuanya diperiksa,” katanya.
Baca juga: Komnas HAM Dalami Gas Air Mata Kedaluwarsa yang Ditembakan Polisi di Kanjuruhan