Pembinaan dan pengembangan sepak bola tanah air tidak cukup hanya menyentuh klub dan pemain. Tetapi juga ekosistem pendukungnya, yaitu para suporter.
Sehebat apa pun sepak bola kita, jika kerusuhan dan korban jiwa selalu terulang, maka disrupsi akan terus terjadi.
Peristiwa demi peristiwa selalu menggambarkan korelasi suporter, tim kesayangan, dan tim rivalnya. Fenomena yang terjadi, seringkali menunjukan loyalitas suporter tidak permanen. Tim kesayangan seolah harus selalu menang.
Jika sampai kalah, selain meluapkan kekesalan kepada tim lawan, juga berimbas pada tim kesayangan, “laksana cinta yang seketika berubah jadi benci”.
Padahal loyalitas dan solidaritas para suporter seharusnya tetap bermakna positif. Hadir di stadion dan menonton pertandingan adalah representasi kegairahan atas loyalitas dan solidaritas itu.
Pertandingan pada ujungnya akan selalu menyisakan menang dan kalah. Maka tidak masuk akal kalau tim idola harus selalu menang.
Salah pemaknaan arti loyalitas dan solidaritas yang berujung kerusuhan, selain memakan korban jiwa, juga mengancam iklim kondusif persepakbolaan nasional.
Penonton seharusnya datang ke stadion untuk bergembira, sambil menikmati permainan bola berkualitas.
Mendukung tim kesayangan tentu sangat boleh dilakukan. Namun fanatisme sempit, apalagi loyalitas dan solidaritas salah makna harus dihindari.
Sesungguhnya jika pemain bisa tampil tanpa kekhawatiran atas keamanan diri mereka, maka para pemain akan lebih optimal.
Hal ini akan menjadikan sepak bola Indonesia menjadi tontonan sekaligus hiburan berkualitas, menarik dan elegan.
Olahraga memiliki misi luhur, yaitu sportifitas. Tanpa sportifitas dan integritas, olah raga berpotensi membawa bencana. Kalah menang dalam pertandingan adalah suatu keniscayaan.
Berkaca pada momen sepak bola paling akbar, Piala Dunia, tim dari negara yang semula kita anggap paling hebat, juga seringkali terpental, bahkan pada babak-babak awal. Sepak bola memang mengherankan karena memang bola itu bundar.
Jika Indonesia ingin diperhitungkan di level internasional, apalagi ingin menjadi tuan rumah pertandingan internasional bergengsi, maka reputasi tanpa kerusuhan harus menjadi realita. Stigma bahwa kerusuhan sepak bola sudah menjadi laten di negeri ini harus dihapus.
Suporter juga harus diajak memahami secara bijak bahwa sesungguhnya ketetapan hukum alam menunjukan ketidakabadian itu. Tidak ada tim yang akan menjadi pemenang selamanya.
Ibarat sebuah roda pedati, suatu saat ujung jari-jari kayunya akan berada di atas. Tetapi di saat lain akan berada di bawah. Semuanya hanya soal waktu saja.
Demikian juga dalam pertandingan sepak bola. Memberi spirit kepada setiap orang, dan generasi masa depan kita bahwa harus menjadi pemenang adalah penting. Tetapi mengajari mereka untuk siap kalah secara sportif juga sama pentingnya.
Sikap para suporter sebagai pendukung dan sahabat tim di kala menang atau pun kalah, dan menyikapi lawan main dengan sportifitas, menjadi kunci pertandingan berkualitas.
Kondisi ini juga akan semakin meningkatkan moral dan spirit para pemain karena merasa didukung penuh.