Ia pun berjanji untuk terus melanjutkan perjuangan pahlawan bangsa. Nasution menyatakan, hanya pengkhianat yang tidak mengikuti dan melanjutkan perjuangan pahlawan.
"Selamat jalan adik-adikku. Selamat jalan. Terima kasih atas pengorbananmu. Selamat jalan sampai bertemu," tutup Nasution.
Pidato yang disampaikan Nasution tak lepas dari kejamnya penganiayaan yang dialami keenam prajurit.
Nasution memang selamat. Namun, keenam orang lainnya disiksa sebelum dibunuh oleh Cakrabirawa.
Penyiksaan terlihat nyata di sekujur tubuh prajurit, ketika penggalian jenazah dilakukan di Lubang Buaya pada 4 Oktober 1965.
Presiden kedua RI, Soeharto, yang kala itu ikut andil dalam penggalian menyatakan betapa kejamnya para pembunuh. Saat itu, ia masih menjabat sebagai Panglima Kostrad.
"Diketemukan dalam keadaan tubuh yang jelas penuh siksaan. Bekas-bekas luka di sekujur tubuh akibat siksaan sebelum ditembak masih membalur di tubuh-tubuh pahlawan-pahlawan kita," tutur Soeharto.
Baca juga: Mengapa Hoaks dan Isu PKI Masih Laku untuk Propaganda Politik?
Penyiksaan ini juga disaksikan oleh saksi mata, yakni anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Nj. Marsajah.
Dalam kesaksiannya, Marsajah mengungkapkan, Jenderal Ahmad Yani terbunuh dan tertangkap sekitar pukul 05.00 WIB tanggal 1 Oktober 1965.
Tak lama setelah itu, Jenderal Soeprapto juga tertangkap, tetapi masih hidup.
Ketika ia mencoba melihat ke luar, tampak seorang pria dengan tangan terikat kain, berpakaian piyama garis-garis putih dan merah jambu, sedangkan di bahu terselendang sebuah sarung.
Tawanan itu, kata Marsajah, duduk di kursi. Ada sekitar enam orang berseragam hijau mengacungkan senjata di depannya.
Beberapa orang wanita juga benyanyi dan mengejek mengelilingi Soeprapto. Mereka berucap, "Enak orang besar. Gemuk makan enak. Rakyat kecil makan singkong, beras mahal.'
Baca juga: Kisah Penyamaran Istri Pemimpin PKI Usai Peristiwa G30S
Marsajah mengakui, wanita-wanita yang juga termasuk bagian dari Gerwani itu melakukan siksaan dan perbuatan yang tidak pantas kepada Soeprapto. Marsajah bahkan tak tahan melihat siksaannya sehingga ia memutuskan kembali ke kamar.
"Tapi tidak lama saya di kamar, tiba-tiba saja mendengar rentetan tembakan tiga kali. Tak lain yang ada di kepala saya, Pak Prapto (Soeprapto) sudah dihabisi," ungkap Marsajah.
Kemudian dalam jarak sekitar 10 meter dari kamar, Marsajah melihat sebuah tandu mengangkut mayat Soeprapto untuk dibawa ke sebuah sumur tua yang dikenal dengan nama Lubang Buaya.
Sekitar setengah jam kemudian, ada lagi mayat yang dilempar ke lubang tersebut. Tak lain adalah Mayat Jenderal S Parman. Adapun Jenderal Soetoyo dan Kapten Pierre Tendean diperlakukan sama.
"Meraka dikerumuni, ditendang, dianiaya, dipukuli dengan popor senapan," beber Marsajah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.