KOMPAS - Perkawinan di bawah umur masih marak terjadi hingga saat ini. Padahal menikah dengan usia di bawah umur sangat tidak dianjurkan mengingat banyaknya dampak negatif yang dapat ditimbulkan.
Mulai dari masalah kesehatan, kesiapan mental, kematangan emosi, ekonomi, hingga cara berpikir, yang dapat memengaruhi harmonisasi keluarga.
Lalu, bagaimana aturan hukum mengenai menikah di bawah umur di Indonesia?
Baca juga: Aturan Perkawinan Campuran di Indonesia
Ketentuan mengenai pernikahan diatur di dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2019.
Undang-undang ini menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.
Selain itu, seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tuanya untuk melangsungkan perkawinan.
Mengacu pada ketentuan ini, artinya, hukum perkawinan di Indonesia pada dasarnya tidak membolehkan pernikahan di bawah umur.
Baca juga: Kisah Korban Perkawinan Anak, Sesali Keputusan hingga Ingin Kembali ke Sekolah
Meski begitu, pernikahan anak di bawah umur masih dapat dilakukan dengan adanya dispensasi yang diberikan oleh pengadilan.
Orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.
Alasan sangat mendesak yang dimaksud adalah keadaan tidak ada pilihan lain dan sangat terpaksa harus dilangsungkan perkawinan.
Sementara yang dimaksud dengan bukti-bukti pendukung di antaranya adalah surat keterangan dari tenaga kesehatan yang mendukung pernyataan orang tua bahwa perkawinan tersebut sangat mendesak untuk dilaksanakan.
Dalam memberikan dispensasi pernikahan anak di bawah umur, pengadilan juga wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan pernikahan.
Walaupun dibolehkan, namun memaksa anak yang dibawah umur untuk menikah merupakan perbuatan melawan hukum yang dilarang.
Memaksa menikahkan anak di bawah umur dengan alasan apapun dapat dikenakan hukuman pidana.
Hal ini sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang disahkan pada 12 April 2022 lalu.
Merujuk pada Pasal 10 undang-undang ini, berbagai bentuk pemaksaan perkawinan, termasuk di antaranya perkawinan anak, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 200 juta.
Referensi: