"Saya akan berbicara sendiri dengan orang-orang itu," tutur Nasution dalam pemberitaan Harian Kompas, 17 Februari 1967.
Johana sempat menghalang-halangi suaminya dan menahan pintu supaya tidak dibuka. Namun, Nasution tetap memaksakan diri.
Baca juga: Soeharto, Pembubaran PKI, dan Murkanya Presiden Soekarno
Begitu pintu terbuka, di muka kamar sudah berdiri tiga anggota Cakrabirawa. Sekonyong-konyong mereka melepaskan peluru.
Namun, tembakan itu meleset. Lima peluru lewat di atas kepala, satu melewati rambut Johana, dan beberapa lewat sela-sela ketiak.
Nasution mundur dan langsung menutup pintu. Di luar kamar, rentetan peluru dari pistol anggota Cakrabirawa terus memberondong.
Nasution dan istrinya pun tiarap. Mereka susah payah mengunci pintu kembali.
Sementara, personel Cakrabirawa masih terus berupaya masuk ke kamar. Mereka menggasak pintu menggunakan senjata sampai retak-retak.
Mendengar tembakan tersebut, ibu kandung Nasution, yang memang tinggal di rumah itu, datang dari kamarnya dan masuk ke dalam kamar Nasution melalui pintu lain.
"Oh, anakku luka," katanya sambil merangkul sang jenderal.
Baca juga: Mengapa Terjadi Peristiwa G-30-S?
Ibu Nasution lantas meminta orang-orang di kamar tidak berisik supaya tak terdengar pasukan Cakrabirawa di luar.
Saat itu pula, Mardiah, adik perempuan Nasution, tergopoh-gopoh memasuki kamar kakaknya. Dia lantas menggendong Ade Irma Suryani yang sudah terjaga dari tidurnya.
Mardiah bermaksud menyelamatkan putri kedua Nasution tersebut dan memindahkan ke tempat lain. Namun, karena gugup, dia justru membuka pintu di mana pasukan Cakrabirawa sudah menunggu.
"Begitu pintu terbuka, tembakan terus berbunyi dan senjata mengenai anak saya. Istri saya masih sempat segera menutup dan mengunci pintu kembali," tutur Nasution.
Setidaknya, tiga peluru menembus punggung Ade Irma dan dua lainnya mengenai tangan Mardiah.
Penggasakan pintu kamar oleh anggota Cakrabirawa kembali terjadi, bersamaan dengan dilepaskannya tembakan dari luar kamar.