Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

MK Tolak Seluruhnya Uji Materi "Presidential Threshold" yang Diajukan PKS

Kompas.com - 29/09/2022, 17:08 WIB
Fika Nurul Ulya,
Bagus Santosa

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi menolak uji materi ketentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold atau PT) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang digugat oleh Partai Keadilan Sejahtera pada Kamis (29/9/2022).

PKS mengajukan gugatan uji materi soal PT ke MK pada 6 Agustus 2022.

Adapun berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu disebutkan bahwa partai politik atau gabungan partai politik yang bisa mengusung calon presiden dan calon wakil presidennya harus memiliki 20 persen kursi di DPR RI atau memperoleh 25 persen suara sah nasional pada Pemilu sebelumnya.

"Berdasarkan UUD 1945 dan seterusnya amar putusan mengadili menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman yang memimpin sidang hari ini di Gedung MK, Jakarta.

Baca juga: Kesalnya PKS soal Gugatan Presidential Threshold UU Pemilu yang Segera Diputus MK

Dalam sidang, hakim konstitusi menjelaskan bahwa menurut Mahkamah, permohonan ditolak lantaran dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum.

Sebab, besaran ambang batas bukan kewenangan Mahkamah, baik untuk menilai maupun mengubah besaran angka ambang batas yang diajukan oleh pemohon, dalam hal ini PKS.

"Ketentuan presidential threshold perlu diberikan batasan yang lebih proporsional, rasional, dan implementatif. Menurut Mahkamah, hal tersebut bukan lah menjadi ranah kewenangan Mahkamah untuk menilai kemudian mengubah besaran angka ambang batas," ucap Hakim Enny Nurbaningsih.

Enny menyebutkan, besaran pencalonan presiden merupakan kebijakan terbuka.

Perubahannya menjadi kewenangan para pembentuk UU, yakni DPR dan presiden untuk menentukan lebih lanjut kebutuhan proses legislasi mengenai besaran angka ambang batas tersebut.

Baca juga: PKS Sebut Tak Diberi Ruang Pembuktian oleh MK soal Uji Materi Presidential Threshold

Oleh karena itu, kata Enny, berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah menyebut bahwa dalil para pemohon yang meminta Mahkamah mengubah ambang batas menjadi tidak beralasan hukum.

"Tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma pasal 222 UU 7/2017 sehingga mahkamah berpendapat tidak terdapat alasan mendasar yang menyebabkan Mahkamah harus mengubah pendiriannya," jelas Enny.

Sebelumnya diberitakan, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengajukan permohonan uji materi pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden 20 persen kursi DPR dan 25 persen suara nasional.

Presiden PKS Ahmad Syaikhu sempat menghadiri sidang perdana uji materi tersebut. Syaikhu bilang, uji materi diajukan PKS untuk memperbaiki kondisi bangsa.

Syaikhu mengatakan, adanya presidential threshold sebesar 20 persen membuat jumlah pasangan calon presiden dan calon wakil presiden jadi terbatas.

Baca juga: Mengenal Aturan Usia Pensiun Prajurit TNI yang Digugat ke Mahkamah Konstitusi

Hal ni terbukti dari Pemilu 2014 dan Pemilu 2019. Saat itu, hanya dua pasangan calon presiden dan wakil presiden yang dapat dipilih.

Ia meminta presidential threshold diubah menjadi 7 persen atau 9 persen. Menurut dia, gugatan ini harus dilakukan oleh PKS sebagai bentuk tanggung jawab moral.

"Angka presidential threshold 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional di Pasal 222 ini jelas membatasi prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat yang dijamin UUD 1945," kata Syaikhu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

BMKG Sebut Udara Terasa Lebih Gerah karena Peralihan Musim

BMKG Sebut Udara Terasa Lebih Gerah karena Peralihan Musim

Nasional
Disebut Sewa Influencer untuk Jadi Buzzer, Bea Cukai Berikan Tanggapan

Disebut Sewa Influencer untuk Jadi Buzzer, Bea Cukai Berikan Tanggapan

Nasional
Profil Eko Patrio yang Disebut Calon Menteri, Karier Moncer di Politik dan Bisnis Dunia Hiburan

Profil Eko Patrio yang Disebut Calon Menteri, Karier Moncer di Politik dan Bisnis Dunia Hiburan

Nasional
PDI-P Bukan Koalisi, Gibran Dinilai Tak Tepat Konsultasi soal Kabinet ke Megawati

PDI-P Bukan Koalisi, Gibran Dinilai Tak Tepat Konsultasi soal Kabinet ke Megawati

Nasional
Jokowi Resmikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit

Jokowi Resmikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit

Nasional
Bawaslu Papua Tengah Telat Masuk Sidang dan Tak Dapat Kursi, Hakim MK: Kalau Kurang, Bisa Dipangku

Bawaslu Papua Tengah Telat Masuk Sidang dan Tak Dapat Kursi, Hakim MK: Kalau Kurang, Bisa Dipangku

Nasional
Sengketa Pileg di Papua Tengah, MK Soroti KPU Tak Bawa Bukti Hasil Noken

Sengketa Pileg di Papua Tengah, MK Soroti KPU Tak Bawa Bukti Hasil Noken

Nasional
Dilema Prabowo Membawa Orang 'Toxic'

Dilema Prabowo Membawa Orang "Toxic"

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi soal Kabinet ke Megawati, Pengamat: Harus Koordinasi dengan Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi soal Kabinet ke Megawati, Pengamat: Harus Koordinasi dengan Prabowo

Nasional
Soal Kabinet Prabowo-Gibran, Pengamat Ingatkan Bukan Sekadar Bagi-bagi Kekuasaan

Soal Kabinet Prabowo-Gibran, Pengamat Ingatkan Bukan Sekadar Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Sidang Perdana Praperadilan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Digelar Hari Ini

Sidang Perdana Praperadilan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Digelar Hari Ini

Nasional
Menakar Siapa Orang 'Toxic' yang Dimaksud Luhut, Lebih Relevan ke Kubu 01?

Menakar Siapa Orang "Toxic" yang Dimaksud Luhut, Lebih Relevan ke Kubu 01?

Nasional
Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Nasional
SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

Nasional
'Presidential Club', 'Cancel Culture', dan Pengalaman Global

"Presidential Club", "Cancel Culture", dan Pengalaman Global

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com