Jadi dalam konteks inilah kita sebenarnya bisa memahami mengapa Puan memilih Surya Paloh sebagai tujuan silaturahmi pertamanya bulan Agustus 2022 lalu.
Di satu sisi, Surya Paloh memiliki posisi politik tersendiri di dalam peta politik nasional kita karena berkapasitas melakukan terobosan politik yang bisa mengubah permainan.
Tapi di sisi lain, Surya Paloh juga sosok yang berada cukup dekat secara politik dengan Jokowi yang pengaruhnya tidak bisa diremehkan begitu saja.
Konon, kabarnya tangan ajaibnya mampu menahan Menteri Pertanian agar tidak masuk ke dalam daftar nama yang di-reshuflle oleh Jokowi tempo hari.
Dengan kata lain, pilihan Megawati untuk mendorong Puan bersilaturahmi dengan Surya Paloh, yang notabene adalah "endorser" Anies Baswedan, merupakan langkah politik strategis yang secara tidak langsung menunjukkan bahwa Megawati memang berbeda pilihan politik terkait calon presiden.
Jika rumor tentang pemasangan Puan-Anies benar adanya dan benar-benar diumumkan oleh Nasdem bulan November 2022 nanti, maka langkah pertama Megawati nampaknya sudah berhasil, yakni menggunakan pihak ketiga untuk meng-endorse Puan Maharani.
Dan akan menjadi batu sandungan bagi Jokowi, karena endorsement tersebut datang dari salah satu figur politik penting yang berada di belakang Jokowi selama ini.
Dengan begitu, untuk sementara waktu, Megawati bisa terhindar dari konflik terbuka dengan Jokowi.
Tapi, di sisi lain, kepentingan politiknya tetap bisa maju satu langkah dibanding Jokowi alias, seperti yang telah saya sampaikan pada opini sebelumnya, Puan berhasil merangsek satu langkah dibanding Ganjar Pranowo.
Lantas, apakah pilihan strategi Mega dan Puan tersebut diambil tanpa sebab? Tentu ada sebabnya.
Saya menduga, sikap tersebut adalah reaksi atas terobosan populis Jokowi. Di akhir Agustus 2022 lalu, Jokowi mencoba memecah kebuntuan dengan cara menghimpun langsung aspirasi bakal calon presiden penerusnya via Musra alias Musyawarah Rakyat di Bandung dan konon akan berlanjut di Sulawesi dalam waktu dekat.
Langkah Jokowi yang mencoba menggandeng langsung para pemilih dalam menentukan siapa kandidat yang akan menggantikannya, saya kira, adalah gambaran dari sikap Jokowi yang sudah mulai kurang sinkron dengan partai, terutama PDIP, terkait bakal calon presiden yang akan mereka usung di tahun 2024.
Terobosan Jokowi memang cukup kreatif, tapi nampaknya belum mampu mengubah peta besar pencapresan para kandidat, karena tidak kompatibel dengan amanat perundang-undangan.
Masalahnya, berapapun besar relawan yang dihimpun, jika tidak terkoneksi segera dengan partai atau koalisi partai-partai, maka akan sulit untuk bergerak ke level selanjutnya.
Menurut hemat saya, alangkah lebih baik bagi Jokowi, begitu pula Ganjar Pranowo, untuk segera menemukan pihak ketiga layaknya yang dilakukan oleh Megawati.