Salin Artikel

Adu Strategi Dua King Maker di Balik Seteru Dewan Kolonel Vs Dewan Kopral

Jokowi sejak beberapa bulan lalu, menekankan kepada barisan relawannya untuk tidak buru-buru alias "ojo kesusu."

Di sisi lain, Megawati baru-baru ini juga meminta kadernya untuk bersabar terkait siapa yang akan direstuinya sebagai calon presiden dari PDIP.

Dua sosok yang kerap dikaitkan dengan ambisi King Maker ini nampaknya masih mencari momen yang tepat untuk bersikap, terutama terkait dua hal yang saling terkait satu sama lain.

Sikap pertama, yang terkait dengan penentuan siapa calon presiden dari PDIP, akan menjelaskan sikap kedua, yakni sikap Megawati atas Jokowi dan sebaliknya.

Katakanlah misalnya jika Megawati mengumumkan Puan Maharani sebagai calon presiden pilihan PDIP, maka akan segera membuka kotak pandora milik Jokowi.

Jadi siapapun yang berani bersikap terlebih dahulu, berpeluang membuka ruang pertarungan yang lebih frontal dan berisiko memecah loyalitas di dalam PDIP.

Jika Jokowi terlebih dahulu menentukan sikap atas pilihan politiknya, maka otomatis akan membuka kotak pandora pilihan politik Megawati.

Jika Jokowi secara terbuka memberikan dukungan pada Ganjar Pranowo, misalnya, maka para loyalis Jokowi di dalam PDIP akan tersegregasi secara politik oleh loyalis Megawati dan Puan. Begitu pula sebaliknya.

Inilah dilemanya saat ini, baik bagi Megawati maupun Jokowi, baik Puan maupun Ganjar Pranowo.

Namun pelan-pelan exit strategy sudah mulai diambil Mega. Puan sudah mulai melakukan silaturahmi politik ke beberapa pihak, untuk mendapatkan dukungan dari partai lain di satu sisi dan mengunci pergerakan politik Ganjar Pranowo di sisi lain.

Saya menduga, Megawati akan menggunakan beberapa langkah untuk keluar dari kebuntuan ini tentu guna mendapatkan pihak ketiga atau aliansi politik.

Pertama, untuk memperkuat basis institusional atas pencalonan Puan. Kedua, untuk memetakan pasangan politik yang kuat untuk Puan, yang bisa menyaingi Ganjar Pranowo dan yang tidak disukai Jokowi tentunya.

Dan ketiga, tentu untuk meng-endorse Puan terlebih dahulu sebelum PDIP secara resmi meng-endorse-nya.

Jadi dalam konteks inilah kita sebenarnya bisa memahami mengapa Puan memilih Surya Paloh sebagai tujuan silaturahmi pertamanya bulan Agustus 2022 lalu.

Di satu sisi, Surya Paloh memiliki posisi politik tersendiri di dalam peta politik nasional kita karena berkapasitas melakukan terobosan politik yang bisa mengubah permainan.

Tapi di sisi lain, Surya Paloh juga sosok yang berada cukup dekat secara politik dengan Jokowi yang pengaruhnya tidak bisa diremehkan begitu saja.

Konon, kabarnya tangan ajaibnya mampu menahan Menteri Pertanian agar tidak masuk ke dalam daftar nama yang di-reshuflle oleh Jokowi tempo hari.

Dengan kata lain, pilihan Megawati untuk mendorong Puan bersilaturahmi dengan Surya Paloh, yang notabene adalah "endorser" Anies Baswedan, merupakan langkah politik strategis yang secara tidak langsung menunjukkan bahwa Megawati memang berbeda pilihan politik terkait calon presiden.

Jika rumor tentang pemasangan Puan-Anies benar adanya dan benar-benar diumumkan oleh Nasdem bulan November 2022 nanti, maka langkah pertama Megawati nampaknya sudah berhasil, yakni menggunakan pihak ketiga untuk meng-endorse Puan Maharani.

Dan akan menjadi batu sandungan bagi Jokowi, karena endorsement tersebut datang dari salah satu figur politik penting yang berada di belakang Jokowi selama ini.

Dengan begitu, untuk sementara waktu, Megawati bisa terhindar dari konflik terbuka dengan Jokowi.

Tapi, di sisi lain, kepentingan politiknya tetap bisa maju satu langkah dibanding Jokowi alias, seperti yang telah saya sampaikan pada opini sebelumnya, Puan berhasil merangsek satu langkah dibanding Ganjar Pranowo.

Lantas, apakah pilihan strategi Mega dan Puan tersebut diambil tanpa sebab? Tentu ada sebabnya.

Saya menduga, sikap tersebut adalah reaksi atas terobosan populis Jokowi. Di akhir Agustus 2022 lalu, Jokowi mencoba memecah kebuntuan dengan cara menghimpun langsung aspirasi bakal calon presiden penerusnya via Musra alias Musyawarah Rakyat di Bandung dan konon akan berlanjut di Sulawesi dalam waktu dekat.

Langkah Jokowi yang mencoba menggandeng langsung para pemilih dalam menentukan siapa kandidat yang akan menggantikannya, saya kira, adalah gambaran dari sikap Jokowi yang sudah mulai kurang sinkron dengan partai, terutama PDIP, terkait bakal calon presiden yang akan mereka usung di tahun 2024.

Terobosan Jokowi memang cukup kreatif, tapi nampaknya belum mampu mengubah peta besar pencapresan para kandidat, karena tidak kompatibel dengan amanat perundang-undangan.

Masalahnya, berapapun besar relawan yang dihimpun, jika tidak terkoneksi segera dengan partai atau koalisi partai-partai, maka akan sulit untuk bergerak ke level selanjutnya.

Menurut hemat saya, alangkah lebih baik bagi Jokowi, begitu pula Ganjar Pranowo, untuk segera menemukan pihak ketiga layaknya yang dilakukan oleh Megawati.

Jika Jokowi memang tidak mendukung Puan, tapi mendukung pihak lain, katakanlah Ganjar Pranowo, maka kebuntuan konstitusional ini harus diatasi segera.

Jokowi bisa saja bermain halus untuk mendorong KIB (Koalisi Indonesia Bersatu) segera mengumumkan Ganjar Pranowo sebagai salah satu pilihan pertamanya untuk dimajukan sebagai capres 2024.

Jika itu bisa terjadi, maka level permainan akan segera naik peringkat, tanpa seteru terbuka antara Jokowi dan Megawati.

Memang KIB sedikit goyang pasca-Suharso Monoarfa dilengserkan sebagai Ketum PPP. Tapi dengan masuknya nama Ganjar ke dalam daftar capres utama KIB, akan sangat besar peluang KIB mendapatkan partai lain untuk jadi anggota koalisi baru karena KIB dinilai memiliki kandidat yang memiliki potensi menang cukup tinggi sekelas Ganjar Pranowo.

Terobosan kepartaian semacam itu sangat diperlukan Jokowi dan Ganjar. Karena jika tidak, maka yang akan terus beradu urat syaraf adalah para pendukung Puan dan Ganjar Pranowo, seperti dalam kasus mencuatnya isu Dewan Kolonel versus Dewan Kopral.

Padahal di balik hingar bingar "dewan-dewanan" tersebut ada "perang dingin dan adu strategi antara dua King Maker, yakni Megawati dan Joko Widodo.

Sementara bagi Mega dan para loyalisnya, perjuangan untuk menjadikan Puan sebagai capres resmi PDIP akan menjadi opsi tak beralternatif.

Meskipun, katakanlah misalnya Puan gagal masuk ke Istana, tapi dengan menjadikan Puan sebagai capres resmi PDIP akan membangun dukungan super solid pada Puan di internal partai, yang kemudian memungkinkan Puan untuk mengambil estafet kepemimpinan partai dari Megawati di kemudian hari. Artinya, trah Sukarno akan tetap berlanjut.

Risikonya, PDIP diperkirakan akan menerima stigma dari para pendukung Ganjar dan pemilih pada umumnya sebagai partai yang tidak menyuarakan suara rakyat, karena mencalonkan kandidat yang kurang mendapat legitimasi publik via survei-survei yang ada.

Tapi di sisi lain, peluang Ganjar Pranowo untuk meraih pucuk pimpinan partai menjadi tertutup karena maju sebagai capres dari partai lain.

Dengan kata lain, meskipun Ganjar Pranowo, misalnya katakanlah menang di tahun 2024 dan menjadi presiden, Ganjar tetap akan dianggap sebagai "traitor" oleh PDIP, yang akan sangat diharamkan untuk menggantikan Megawati di kemudian hari.

https://nasional.kompas.com/read/2022/09/25/06000001/adu-strategi-dua-king-maker-di-balik-seteru-dewan-kolonel-vs-dewan-kopral

Terkini Lainnya

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke