Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Adu Strategi Dua King Maker di Balik Seteru Dewan Kolonel Vs Dewan Kopral

Kompas.com - 25/09/2022, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KETUA Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri dan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, terkesan saling menunggu dalam menentukan sikap terkait siapa calon presiden pilihan mereka pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada 2024.

Jokowi sejak beberapa bulan lalu, menekankan kepada barisan relawannya untuk tidak buru-buru alias "ojo kesusu."

Di sisi lain, Megawati baru-baru ini juga meminta kadernya untuk bersabar terkait siapa yang akan direstuinya sebagai calon presiden dari PDIP.

Dua sosok yang kerap dikaitkan dengan ambisi King Maker ini nampaknya masih mencari momen yang tepat untuk bersikap, terutama terkait dua hal yang saling terkait satu sama lain.

Sikap pertama, yang terkait dengan penentuan siapa calon presiden dari PDIP, akan menjelaskan sikap kedua, yakni sikap Megawati atas Jokowi dan sebaliknya.

Katakanlah misalnya jika Megawati mengumumkan Puan Maharani sebagai calon presiden pilihan PDIP, maka akan segera membuka kotak pandora milik Jokowi.

Foto stok: Ganjar Pranowo - Puan MaharaniKOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO Foto stok: Ganjar Pranowo - Puan Maharani
Apakah mantan wali kota Solo itu akan mendukung Puan, atau justru menentukan sikap juga dengan memberikan dukungan secara terbuka kepada salah satu bakal kandidat yang sedang ramai dibicarakan, katakanlah misalnya Ganjar Pranowo. Begitu pula sebaliknya.

Jadi siapapun yang berani bersikap terlebih dahulu, berpeluang membuka ruang pertarungan yang lebih frontal dan berisiko memecah loyalitas di dalam PDIP.

Jika Jokowi terlebih dahulu menentukan sikap atas pilihan politiknya, maka otomatis akan membuka kotak pandora pilihan politik Megawati.

Jika Jokowi secara terbuka memberikan dukungan pada Ganjar Pranowo, misalnya, maka para loyalis Jokowi di dalam PDIP akan tersegregasi secara politik oleh loyalis Megawati dan Puan. Begitu pula sebaliknya.

Inilah dilemanya saat ini, baik bagi Megawati maupun Jokowi, baik Puan maupun Ganjar Pranowo.

Namun pelan-pelan exit strategy sudah mulai diambil Mega. Puan sudah mulai melakukan silaturahmi politik ke beberapa pihak, untuk mendapatkan dukungan dari partai lain di satu sisi dan mengunci pergerakan politik Ganjar Pranowo di sisi lain.

Saya menduga, Megawati akan menggunakan beberapa langkah untuk keluar dari kebuntuan ini tentu guna mendapatkan pihak ketiga atau aliansi politik.

Pertama, untuk memperkuat basis institusional atas pencalonan Puan. Kedua, untuk memetakan pasangan politik yang kuat untuk Puan, yang bisa menyaingi Ganjar Pranowo dan yang tidak disukai Jokowi tentunya.

Dan ketiga, tentu untuk meng-endorse Puan terlebih dahulu sebelum PDIP secara resmi meng-endorse-nya.

Jadi dalam konteks inilah kita sebenarnya bisa memahami mengapa Puan memilih Surya Paloh sebagai tujuan silaturahmi pertamanya bulan Agustus 2022 lalu.

Di satu sisi, Surya Paloh memiliki posisi politik tersendiri di dalam peta politik nasional kita karena berkapasitas melakukan terobosan politik yang bisa mengubah permainan.

Tapi di sisi lain, Surya Paloh juga sosok yang berada cukup dekat secara politik dengan Jokowi yang pengaruhnya tidak bisa diremehkan begitu saja.

Konon, kabarnya tangan ajaibnya mampu menahan Menteri Pertanian agar tidak masuk ke dalam daftar nama yang di-reshuflle oleh Jokowi tempo hari.

Dengan kata lain, pilihan Megawati untuk mendorong Puan bersilaturahmi dengan Surya Paloh, yang notabene adalah "endorser" Anies Baswedan, merupakan langkah politik strategis yang secara tidak langsung menunjukkan bahwa Megawati memang berbeda pilihan politik terkait calon presiden.

Jika rumor tentang pemasangan Puan-Anies benar adanya dan benar-benar diumumkan oleh Nasdem bulan November 2022 nanti, maka langkah pertama Megawati nampaknya sudah berhasil, yakni menggunakan pihak ketiga untuk meng-endorse Puan Maharani.

Dan akan menjadi batu sandungan bagi Jokowi, karena endorsement tersebut datang dari salah satu figur politik penting yang berada di belakang Jokowi selama ini.

Dengan begitu, untuk sementara waktu, Megawati bisa terhindar dari konflik terbuka dengan Jokowi.

Tapi, di sisi lain, kepentingan politiknya tetap bisa maju satu langkah dibanding Jokowi alias, seperti yang telah saya sampaikan pada opini sebelumnya, Puan berhasil merangsek satu langkah dibanding Ganjar Pranowo.

Lantas, apakah pilihan strategi Mega dan Puan tersebut diambil tanpa sebab? Tentu ada sebabnya.

Saya menduga, sikap tersebut adalah reaksi atas terobosan populis Jokowi. Di akhir Agustus 2022 lalu, Jokowi mencoba memecah kebuntuan dengan cara menghimpun langsung aspirasi bakal calon presiden penerusnya via Musra alias Musyawarah Rakyat di Bandung dan konon akan berlanjut di Sulawesi dalam waktu dekat.

Langkah Jokowi yang mencoba menggandeng langsung para pemilih dalam menentukan siapa kandidat yang akan menggantikannya, saya kira, adalah gambaran dari sikap Jokowi yang sudah mulai kurang sinkron dengan partai, terutama PDIP, terkait bakal calon presiden yang akan mereka usung di tahun 2024.

Terobosan Jokowi memang cukup kreatif, tapi nampaknya belum mampu mengubah peta besar pencapresan para kandidat, karena tidak kompatibel dengan amanat perundang-undangan.

Masalahnya, berapapun besar relawan yang dihimpun, jika tidak terkoneksi segera dengan partai atau koalisi partai-partai, maka akan sulit untuk bergerak ke level selanjutnya.

Menurut hemat saya, alangkah lebih baik bagi Jokowi, begitu pula Ganjar Pranowo, untuk segera menemukan pihak ketiga layaknya yang dilakukan oleh Megawati.

Jika Jokowi memang tidak mendukung Puan, tapi mendukung pihak lain, katakanlah Ganjar Pranowo, maka kebuntuan konstitusional ini harus diatasi segera.

Jokowi bisa saja bermain halus untuk mendorong KIB (Koalisi Indonesia Bersatu) segera mengumumkan Ganjar Pranowo sebagai salah satu pilihan pertamanya untuk dimajukan sebagai capres 2024.

Jika itu bisa terjadi, maka level permainan akan segera naik peringkat, tanpa seteru terbuka antara Jokowi dan Megawati.

Memang KIB sedikit goyang pasca-Suharso Monoarfa dilengserkan sebagai Ketum PPP. Tapi dengan masuknya nama Ganjar ke dalam daftar capres utama KIB, akan sangat besar peluang KIB mendapatkan partai lain untuk jadi anggota koalisi baru karena KIB dinilai memiliki kandidat yang memiliki potensi menang cukup tinggi sekelas Ganjar Pranowo.

Terobosan kepartaian semacam itu sangat diperlukan Jokowi dan Ganjar. Karena jika tidak, maka yang akan terus beradu urat syaraf adalah para pendukung Puan dan Ganjar Pranowo, seperti dalam kasus mencuatnya isu Dewan Kolonel versus Dewan Kopral.

Padahal di balik hingar bingar "dewan-dewanan" tersebut ada "perang dingin dan adu strategi antara dua King Maker, yakni Megawati dan Joko Widodo.

Sementara bagi Mega dan para loyalisnya, perjuangan untuk menjadikan Puan sebagai capres resmi PDIP akan menjadi opsi tak beralternatif.

Meskipun, katakanlah misalnya Puan gagal masuk ke Istana, tapi dengan menjadikan Puan sebagai capres resmi PDIP akan membangun dukungan super solid pada Puan di internal partai, yang kemudian memungkinkan Puan untuk mengambil estafet kepemimpinan partai dari Megawati di kemudian hari. Artinya, trah Sukarno akan tetap berlanjut.

Risikonya, PDIP diperkirakan akan menerima stigma dari para pendukung Ganjar dan pemilih pada umumnya sebagai partai yang tidak menyuarakan suara rakyat, karena mencalonkan kandidat yang kurang mendapat legitimasi publik via survei-survei yang ada.

Tapi di sisi lain, peluang Ganjar Pranowo untuk meraih pucuk pimpinan partai menjadi tertutup karena maju sebagai capres dari partai lain.

Dengan kata lain, meskipun Ganjar Pranowo, misalnya katakanlah menang di tahun 2024 dan menjadi presiden, Ganjar tetap akan dianggap sebagai "traitor" oleh PDIP, yang akan sangat diharamkan untuk menggantikan Megawati di kemudian hari.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pedangdut Nayunda Nabila Irit Bicara Usai Diperiksa Jadi Saksi TPPU SYL

Pedangdut Nayunda Nabila Irit Bicara Usai Diperiksa Jadi Saksi TPPU SYL

Nasional
KSP Ungkap 9 Nama Pansel Capim KPK Harus Sudah di Meja Setneg Akhir Mei, Juni Bekerja

KSP Ungkap 9 Nama Pansel Capim KPK Harus Sudah di Meja Setneg Akhir Mei, Juni Bekerja

Nasional
Uang Kuliah Mahal, Pengamat: Kebijakan Pemerintah Bikin Kampus Jadi Lahan Bisnis

Uang Kuliah Mahal, Pengamat: Kebijakan Pemerintah Bikin Kampus Jadi Lahan Bisnis

Nasional
Pansel Capim KPK Didominasi Unsur Pemerintah, KSP Beralasan Kejar Waktu

Pansel Capim KPK Didominasi Unsur Pemerintah, KSP Beralasan Kejar Waktu

Nasional
BNBP: Sumatera Barat Masih Berpotensi Diguyur Hujan Lebat hingga 20 Mei 2024

BNBP: Sumatera Barat Masih Berpotensi Diguyur Hujan Lebat hingga 20 Mei 2024

Nasional
Alexander Sarankan Capim KPK dari Polri dan Kejaksaan Sudah Pensiun

Alexander Sarankan Capim KPK dari Polri dan Kejaksaan Sudah Pensiun

Nasional
Draf RUU Penyiaran: Masa Jabatan Anggota KPI Bertambah, Dewan Kehormatan Bersifat Tetap

Draf RUU Penyiaran: Masa Jabatan Anggota KPI Bertambah, Dewan Kehormatan Bersifat Tetap

Nasional
Latihan TNI AL dengan Marinir AS Dibuka, Pangkoarmada I: Untuk Tingkatkan Perdamaian

Latihan TNI AL dengan Marinir AS Dibuka, Pangkoarmada I: Untuk Tingkatkan Perdamaian

Nasional
Siapkan Sekolah Partai untuk Calon Kepala Daerah, PDI-P Libatkan Ganjar, Ahok hingga Risma

Siapkan Sekolah Partai untuk Calon Kepala Daerah, PDI-P Libatkan Ganjar, Ahok hingga Risma

Nasional
Sektor Swasta dan Publik Berperan Besar Sukseskan World Water Forum Ke-10 di Bali

Sektor Swasta dan Publik Berperan Besar Sukseskan World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
BNPB Minta Warga Sumbar Melapor Jika Anggota Keluarga Hilang 3 Hari Terakhir

BNPB Minta Warga Sumbar Melapor Jika Anggota Keluarga Hilang 3 Hari Terakhir

Nasional
Nurul Ghufron Akan Hadiri Sidang Etik di Dewas KPK Besok

Nurul Ghufron Akan Hadiri Sidang Etik di Dewas KPK Besok

Nasional
LHKPN Dinilai Tak Wajar, Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta Dicopot dari Jabatannya

LHKPN Dinilai Tak Wajar, Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta Dicopot dari Jabatannya

Nasional
Alexander Sebut Calon Pimpinan KPK Lebih Bagus Tidak Terafiliasi Pejabat Maupun Pengurus Parpol

Alexander Sebut Calon Pimpinan KPK Lebih Bagus Tidak Terafiliasi Pejabat Maupun Pengurus Parpol

Nasional
Polri Siapkan Skema Buka Tutup Jalan saat World Water Forum di Bali

Polri Siapkan Skema Buka Tutup Jalan saat World Water Forum di Bali

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com