Momen itulah yang menjadi titik balik hidup saya untuk “banting stir” dari pengacara menjadi pekerja media sembari menekuni ilmu komunikasi.
Saya mulai mendefinisikan ulang hidup saya. Kaya bukan menjadi tujuan hidup jika idealisme tergadaikan dan keadilan bisa diperdagangkan.
Menjadi wartawan adalah panggilan jiwa walau akhirnya dunia kampus dan praktik keilmuan di lapangan menjadi profesi yang tidak menjanjikan kekayaan tetapi kemuliaan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak berdirinya hingga sekarang, akhirnya terpaksa harus mengakui gundah gulananya saat mengumumkan operasi tangkap tangan terhadap jaringan “laba-laba” pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA) tanggal 22 September 2022 kemarin (Kompas.com, 22 September 2022).
Penangkapan terhadap sejumlah pegawai MA dan menyeret dugaan keterlibatan Hakim Agung Sudrajat Dimyati menjadi kiprah pertama KPK bisa mengungkap “permainan” kotor hakim agung di MA.
Selama ini, isu kasasi dan peninjauan kembali “bertarif” mahal di MA laksana menuduh orang kentut saja.
Bau busuknya mudah tercium kemana-mana tetapi soal siapa yang kentut, hanya oknum yang “ngentut” dan Sang Pencipta saja yang tahu kebenarannya.
MA oleh rekan-rekan saya di kalangan pengacara dan para narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung adalah penentu “nasib” kehidupan.
Kasak-kasuk yang beredar, siapkan puluhan miliar rupiah dan cari “kalajengking” hingga jaringan “laba-laba” di MA agar perkara bisa dimenangkan.
Seperti alur yang selama ini digunakan para pengacara untuk memenangkan kliennya, terkuaknya kasus dugaan permainan “orang-orang dalam“ di MA terkait dengan pengurusan perkara yang ingin “disetir” hasil putusannya.
Pengacara Koperasi Simpan Pinjam Intidana (ID) Yosep Parera dan Eko Suparno yang kini menjadi tersangka, mengakui inisiatif setoran uang pemutus perkara kasasi datang dari “orang dalam” MA sendiri.
Berdasarkan informasi dari masyarakat dan pengembangan kasus, petugas KPK akhirnya melakukan penangkapan di Jakarta, Bekasi, Jawa Barat dan Semarang, Jawa Tengah.
Penyerahan uang yang nominalnya diminta pegawai kepaniteraan MA, Desy Yustria kepada Eko Suparno dilakukan di sebuah hotel di Bekasi.
KPK menemukan valuta asing sebanyak 205.000 dolar Singapura di rumah Desy serta ada Rp 50 juta lagi yang diserahkan pegawai MA langsung ke KPK.
Dana yang terkumpul itu nantinya akan diba-bagi ke petugas MA yang lain dan tentunya yang mendapat jatah ”preman” terbesar adalah hakim agung perdata yang akan memutus kasasi kasus tersebut.