Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pilkada Asimetris Dikhawatirkan Ciptakan Diskriminasi Daerah dan Ancam Kesatuan Bangsa

Kompas.com - 23/09/2022, 14:45 WIB
Vitorio Mantalean,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Penerapan pilkada asimetris yang saat ini diwacanakan kembali oleh Badan Pengkajian MPR RI dikhawatirkan justru menimbulkan diskriminasi dan mengancam kesatuan bangsa.

Sebagai informasi, dalam model pilkada asimetris, maka akan ada beberapa kepala daerah yang tak lagi dipilih langsung oleh rakyat, melainkan ditunjuk oleh pemerintah.

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Hurriyah, menyebutkan bahwa sulit mencari indikator objektif bagi pemerintah, untuk menentukan daerah-daerah mana yang pemimpinnya bakal mereka tunjuk langsung tanpa pemilihan.

"Dari hasil studi kami, pelaksanaan pilkada asimetris bisa menimbulkan stigmatisasi. Ketika ada daerah yang mendapat perlakuan berbeda (tak lagi menerapkan pilkada langsung), ini bisa dipersepsikan sebagai perlakuan tidak adil dan merata," kata Hurriyah kepada Kompas.com, Jumat (23/9/2022).

Baca juga: Puskapol UI: Pilkada Asimetris Tak Cocok untuk Indonesia

"Ketika ada daerah yang dianggap tidak layak, tidak memenuhi syarat pilkada langsung, mereka akan merasa tidak puas, diperlakukan tidak adil," lanjutnya.

Pernyataan ini, menurut Hurriyah, berdasarkan studi yang dilakukan Puskapol UI ketika diminta mengevaluasi sistem pilkada oleh Kementerian Dalam Negeri pada 2020 lalu.

Ia menjelaskan, ketika itu pihaknya turun langsung ke sejumlah daerah untuk membaca respons atas wacana Pilkada asimetris dari penduduk maupun pemerintah di daerah-daerah.

Pilkada asimetris, jika diterapkan di Indonesia, disebut rawan persoalan ketatanegaraan karena menjadi kebijakan yang tak sejalan dengan prinsip negara kesatuan.

Baca juga: MPR Buka Peluang UU Pemilu dan Pilkada Digabung Jadi Omnibus Law demi Pilkada Asimetris

"Tujuan pemilu kan menciptakan persatuan. Kalau bicara pilkada asimetris, bisa berdampak munculnya disintegrasi," kata Hurriyah.

"Ada kecenderungan diskriminatif, karena (dalam menentukan kepala daerah yang ditunjuk) ada indikator kuantitatif, misalnya, dari IPM (indeks pembangunan manusia), PAD (pendapatan asli daerah). Kalau ini diterapkan, maka ini bisa meminggirkan masyarakat di daerah tertinggal," jelasnya.

Terlebih, penunjukan kepala daerah secara langsung oleh pemerintah berarti meniadakan partisipasi politik di tingkat lokal, suatu gejala yang berlawanan dengan semangat otonomi daerah dengan sistem desentralisasinya.

"Menurut kami, kalau dilihat dari faktor-faktor itu, memang masih sulit untuk menerapkan pilkada asimetris di tengah-tengah Indonesia yang situasinya sudah melalui pilkada langsung bertahun-tahun," ucap Hurriyah.

Sebelumnya diberitakan, wacana pilkada asimetris kembali mengemuka setelah Badan Pengkajian MPR RI bertemu dengan jajaran komisioner KPU RI pada Rabu (21/9/2022).

Ketua Badan Pengkajian MPR RI Djarot Syaiful Hidayat berdalih bahwa wacana ini diperlukan guna menekan korupsi sebagai imbas biaya politik yang timbul dalam kampanye kandidat kepala daerah dalam sistem pilkada langsung.

"Kita perlu juga mengkaji mana daerah yang betul-betul siap untuk melakukan pilkada secara langsung dan mana yang cukup dipilih melalui DPRD," ujar politikus PDI-P itu di kantor KPU RI, Rabu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jokowi Sebut 3 Hal yang Ditakuti Dunia, Wamenkeu Beri Penjelasan

Jokowi Sebut 3 Hal yang Ditakuti Dunia, Wamenkeu Beri Penjelasan

Nasional
Soal 'Presidential Club', Djarot PDI-P: Pak Prabowo Kurang Pede

Soal "Presidential Club", Djarot PDI-P: Pak Prabowo Kurang Pede

Nasional
Polri Serahkan Kasus TPPU Istri Fredy Pratama ke Kepolisian Thailand

Polri Serahkan Kasus TPPU Istri Fredy Pratama ke Kepolisian Thailand

Nasional
Evaluasi Arus Mudik, Jokowi Setuju Kereta Api Jarak Jauh Ditambah

Evaluasi Arus Mudik, Jokowi Setuju Kereta Api Jarak Jauh Ditambah

Nasional
Prajurit TNI AL Tembak Sipil di Makassar, KSAL: Proses Hukum Berjalan, Tak Ada yang Kebal Hukum

Prajurit TNI AL Tembak Sipil di Makassar, KSAL: Proses Hukum Berjalan, Tak Ada yang Kebal Hukum

Nasional
Demokrat Tak Keberatan PKS Gabung Pemerintahan ke Depan, Serahkan Keputusan ke Prabowo

Demokrat Tak Keberatan PKS Gabung Pemerintahan ke Depan, Serahkan Keputusan ke Prabowo

Nasional
Polri Tangkap 28.861 Tersangka Kasus Narkoba, 5.049 di Antaranya Direhabilitasi

Polri Tangkap 28.861 Tersangka Kasus Narkoba, 5.049 di Antaranya Direhabilitasi

Nasional
Soal Kekerasan di STIP, Menko Muhadjir: Itu Tanggung Jawab Institusi

Soal Kekerasan di STIP, Menko Muhadjir: Itu Tanggung Jawab Institusi

Nasional
Pertamina Goes To Campus 2024 Dibuka, Lokasi Pertama di ITB

Pertamina Goes To Campus 2024 Dibuka, Lokasi Pertama di ITB

Nasional
Demokrat Sudah Beri Rekomendasi Khofifah-Emil Dardak Maju Pilkada Jawa Timur

Demokrat Sudah Beri Rekomendasi Khofifah-Emil Dardak Maju Pilkada Jawa Timur

Nasional
14 Negara Disebut Akan Ambil Bagian dalam Super Garuda Shield 2024

14 Negara Disebut Akan Ambil Bagian dalam Super Garuda Shield 2024

Nasional
Khofifah Ingin Duet dengan Emil Dardak, Gerindra: Kami Akan Komunikasi dengan Partai KIM

Khofifah Ingin Duet dengan Emil Dardak, Gerindra: Kami Akan Komunikasi dengan Partai KIM

Nasional
Wamenkeu Sebut Pemilu 2024 Berkontribusi Besar Dorong Pertumbuhan Ekonomi

Wamenkeu Sebut Pemilu 2024 Berkontribusi Besar Dorong Pertumbuhan Ekonomi

Nasional
Mensos Risma Janjikan 3 Hal kepada Warga Kabupaten Sumba Timur

Mensos Risma Janjikan 3 Hal kepada Warga Kabupaten Sumba Timur

Nasional
SYL Renovasi Rumah Pribadi, tapi Laporannya Rumah Dinas Menteri

SYL Renovasi Rumah Pribadi, tapi Laporannya Rumah Dinas Menteri

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com