Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agustian GP Sihombing
Biarawan

Anggota Justice Peace and Integrity of Creation (JPIC), biarawan Ordo Kapusin Provinsi Medan, dan mahasiswa magister filsafat.

Agama dan Nalar yang Harus Sehat

Kompas.com - 23/09/2022, 13:06 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Lebih lanjut, Donald Wiebe (1939-2016) dalam An Eternal Return All Over Again: The Religious Conversation Endures menerangkan bahwa agama mesti diterima sebagai sesuatu yang otonom, berdiri sendiri dengan aturan sendiri. Bahkan, jika agama dihadapkan dalam ruang publik yang plural.

Wiebe menyatakan bahwa dalam agama ada hal-hal atau pengalaman-pengalaman yang sulit dimengerti secara rasional, tetapi memiliki kebenaran.

Hal tersebut tak dapat diterangkan secara ilmiah, tetapi dengan iman (fides). Sebab, inilah otonomi agama: mengandung hal-hal yang transenden dan supernatural.

Hal tersebut hanya dapat diselami oleh mereka yang menaruh keyakinan dan rasa hormat pada yang diimani.

Ada jalinan relasi yang sungguh intim dan tak tergambarkan (numinous). Sehingga, siapa pun – bahkan sesama pemeluk agama itu – mesti menaruh sikap hormat pada otonomi istimewa tersebut.

Nalar yang sehat

Selain harus memiliki rasa religi (sensus religiousus) yang baik, seorang pemeluk agama mesti juga memiliki daya nalar yang sehat.

Sebab, rasa dan penalaran adalah dua hal yang di satu sisi bisa berjalan bersama, tetapi di satu sisi bisa saling bersenggolan. Yang kerap terjadi adalah rasa lebih kuat atau dominan sehingga nalar menjadi lemah.

Maka, dapat terjadi bahwa agama menjadi ”sarana” pemantik perpecahan dan konflik. Terutama, jika agama diangkat dalam konteks publik-plural dan mencoba menguasai peraturan bersama-multikultural.

Bagaimana hal tersebut dapat terjadi? Ludwig Feurbach (1804-1872) dalam Lectures on the Essence of Religion menguraikan bahwa manusia terbuai dan mabuk dalam agama.

Yang menyebabkan hal ini adalah manusia tersebut – si pemeluk agama – terlalu berusaha untuk masuk dalam agama yang dipercayainya dan mencoba untuk membatasi Sang Tuhan dengan asumsi, tafsiran, dan pemikiran sempit sesuai seleranya.

Rasionalitas menjadi lemah karena rasa percaya pada agama sangat fanatik. Apalagi, jika si pemeluk agama yang bersangkutan merasa bahwa hanya hal-hal yang didapat dalam agamanya yang sungguh benar, baik, dan indah. Di luar itu, tidak!

Akibatnya, si pemeluk menjadi eksklusif, radikal, intoleran, dan tidak sadar. Padahal, akan terjadi bahwa ajaran-ajaran dalam agama yang dipeluk masih dapat dikritisi dengan menggunakan studi yang serius dan komprehensif.

Karena, di dalam agama ada interpretasi yang dapat keliru oleh para pemeluk dan pemuka agama terdahulu. Hal ini dapat terjadi karena pengaruh situasi sejarah, sosial, dan kebudayaan tertentu.

Padahal, agama perlu kontekstualisasi dan penyelarasan hermeneutis yang sesuai zaman, budaya, dan tindakan moral yang baik dan benar.

Iman (rasa religi) itu perlu, tapi nalar yang sehat jangan sampai dikesampingkan. Inilah yang perlu diluruskan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com