Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agustian GP Sihombing
Biarawan

Anggota Justice Peace and Integrity of Creation (JPIC), biarawan Ordo Kapusin Provinsi Medan, dan mahasiswa magister filsafat.

Agama dan Nalar yang Harus Sehat

Kompas.com - 23/09/2022, 13:06 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kita akan menemukan bahwa agama didefinisikan sebagai suatu ajaran dan sistem yang mengatur tata keimanan atau kepercayaan dan peribadatan kepada Tuhan yang Maha Kuasa serta tata kaidah terkait pergaulan manusia dengan manusia serta lingkungannya.

Dari definisi tersebut, ada tiga poin mendasar yang perlu diperhatikan. Pertama, sejatinya agama mengatur hubungan dengan yang ilahi dalam kultus tertentu.

Kedua, agama mengatur relasi harmonis antarmanusia. Ketiga, agama menuntun manusia bersaudara dengan lingkungan sekitar yang nonhuman.

Kalau ketiga hal tersebut dihayati secara mendalam, hidup kita (manusia) akan baik. Sebab, dari definisi tersebut tersurat eksistensi penuh manusia.

Tetapi, kerap terjadi – terutama di Indonesia – tindakan disharmoni atas nama agama. Ada pihak atau pemeluk agama yang ingin menampilkan ”wajah agama” yang dipeluknya di depan publik secara radikal dan barbar.

Ada pula tindakan amoral yang dinyatakan sebagai pesan dari agama yang mengganggu relasi dengan sesama dan lingkungan sekitar.

Di sisi lain, ada orang yang menganggap bahwa agama yang dipeluknya paling benar, indah, dan harus diakui sebagai pilot project. Sementara yang lain tidak.

Ada pula yang ingin mengintervensi kebijakan publik dengan ajaran agamanya.

Bagaimana hal ini dapat terjadi? Apa dan siapa yang salah? Adakah yang harus diluruskan?

Otonomi agama

Sejenak, kita perlu mencermati dua hal berikut. Pertama, di dalam setiap agama ada tiga sifat mendasar, yakni bonum (baik), verum (benar), dan pulchrum (indah).

Ketiga sifat ini menjadi kunci yang sungguh kurang dan bahkan tidak disadari oleh baik pemeluk agama (orang dalam) sendiri maupun non pemeluk (orang luar) agama tertentu.

Kedua, di dalam setiap agama ada unsur historis dan transenden. Suatu agama pasti memiliki latar sejarah bertumbuh, berkembang, dan menampilkan diri di tengah publik.

Lalu, suatu agama pasti menuntun pemeluknya pada hal-hal yang rohaniah (transcendent) untuk sampai ke Sang Pencipta yang tak dapat dideskripsikan dengan sempurna.

Suatu agama sekaligus dapat dimengerti sekaligus sulit dimengerti. Karena, pemeluknya tidak akan pernah sanggup menjelaskan dengan sangat sempurna, Sang Pencipta: apa, siapa, dan bagaimana gambaran sosok yang sedang disembah.

Hanya, si pemeluk akan dibimbing secara personal, bahwa Sang Pencipta yang diimani itu lewat agamanya – adalah Yang Benar, Baik, dan Indah (Agung).

Lebih lanjut, Donald Wiebe (1939-2016) dalam An Eternal Return All Over Again: The Religious Conversation Endures menerangkan bahwa agama mesti diterima sebagai sesuatu yang otonom, berdiri sendiri dengan aturan sendiri. Bahkan, jika agama dihadapkan dalam ruang publik yang plural.

Wiebe menyatakan bahwa dalam agama ada hal-hal atau pengalaman-pengalaman yang sulit dimengerti secara rasional, tetapi memiliki kebenaran.

Hal tersebut tak dapat diterangkan secara ilmiah, tetapi dengan iman (fides). Sebab, inilah otonomi agama: mengandung hal-hal yang transenden dan supernatural.

Hal tersebut hanya dapat diselami oleh mereka yang menaruh keyakinan dan rasa hormat pada yang diimani.

Ada jalinan relasi yang sungguh intim dan tak tergambarkan (numinous). Sehingga, siapa pun – bahkan sesama pemeluk agama itu – mesti menaruh sikap hormat pada otonomi istimewa tersebut.

Nalar yang sehat

Selain harus memiliki rasa religi (sensus religiousus) yang baik, seorang pemeluk agama mesti juga memiliki daya nalar yang sehat.

Sebab, rasa dan penalaran adalah dua hal yang di satu sisi bisa berjalan bersama, tetapi di satu sisi bisa saling bersenggolan. Yang kerap terjadi adalah rasa lebih kuat atau dominan sehingga nalar menjadi lemah.

Maka, dapat terjadi bahwa agama menjadi ”sarana” pemantik perpecahan dan konflik. Terutama, jika agama diangkat dalam konteks publik-plural dan mencoba menguasai peraturan bersama-multikultural.

Bagaimana hal tersebut dapat terjadi? Ludwig Feurbach (1804-1872) dalam Lectures on the Essence of Religion menguraikan bahwa manusia terbuai dan mabuk dalam agama.

Yang menyebabkan hal ini adalah manusia tersebut – si pemeluk agama – terlalu berusaha untuk masuk dalam agama yang dipercayainya dan mencoba untuk membatasi Sang Tuhan dengan asumsi, tafsiran, dan pemikiran sempit sesuai seleranya.

Rasionalitas menjadi lemah karena rasa percaya pada agama sangat fanatik. Apalagi, jika si pemeluk agama yang bersangkutan merasa bahwa hanya hal-hal yang didapat dalam agamanya yang sungguh benar, baik, dan indah. Di luar itu, tidak!

Akibatnya, si pemeluk menjadi eksklusif, radikal, intoleran, dan tidak sadar. Padahal, akan terjadi bahwa ajaran-ajaran dalam agama yang dipeluk masih dapat dikritisi dengan menggunakan studi yang serius dan komprehensif.

Karena, di dalam agama ada interpretasi yang dapat keliru oleh para pemeluk dan pemuka agama terdahulu. Hal ini dapat terjadi karena pengaruh situasi sejarah, sosial, dan kebudayaan tertentu.

Padahal, agama perlu kontekstualisasi dan penyelarasan hermeneutis yang sesuai zaman, budaya, dan tindakan moral yang baik dan benar.

Iman (rasa religi) itu perlu, tapi nalar yang sehat jangan sampai dikesampingkan. Inilah yang perlu diluruskan.

Sebab, hidup seorang manusia itu sungguh amat kompleks dan multidimensional. Tidak boleh timpang hanya pada satu sisi. Harus seimbang!

Pada porsi tertentu, seseorang harus meluangkan waktu demi urusan dengan agama. Namun, di porsi lain, ia harus hidup dalam dunia sosial, politik, budaya, dan lingkungan alam yang sungguh plural dan kaya.

Di dalam konteks yang lebih plural itu, ia harus hidup lebih toleran sebagai perwujudan imannya akan ajaran Sang Pencipta yang Baik, Benar, dan Indah (Agung) tadi.

Sebab, iman yang benar adalah iman yang tampak dalam perbuatan baik dan benar terhadap sesama dan lingkungan hidup (Yakobus 2:18).

Pancasila

Lantas, bagaimana dengan Indonesia yang sungguh plural mengakui agama-agama besar dan aliran-aliran kepercayaan tradisional dan beberapa kali menjadi perhatian publik karena intoleransi beragama dan bermasyarakat?

Pertama, secara konstitusional, Indonesia memberi jaminan kebebasan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaan tersebut (Pasal 29 ayat 2 UUD 1945).

Jaminan tersebut semakin kuat dengan berpuncak pada sila pertama dari Pancasila, yakni Ketuhanan yang Maha Esa.

Indonesia tidak menghalang-halangi – bahkan mewajibkan – warga negaranya untuk beriman kepada Tuhan-nya.

Negara menjamin perayaan-perayaan keagamaan yang dapat dinikmati dalam konteks libur nasional. Negara juga mengalokasikan dana-dana untuk pengembangan agama dan kegiatan-kegiatan internal di dalamnya.

Kedua, lewat Pancasila, masyarakat Indonesia diarahkan untuk memaknai kebebasan dalam mengekspresikan agama dengan konteks rasa hormat dan toleransi.

Bukan sekadar pada titel agama, tetapi masyarakat harus sampai pada rasa hormat akan kodrat human yang sama untuk merasakan keadilan yang beradab, satu, dan merata.

Dalam hal inilah, Pancasila menjadi fundasi merasa dan berpikir kritis bagi masyarakat dengan agama dan kepercayaannya di ranah publik yang plural.

Eksistensinya selalu terarah kepada yang lain, bukan terkurung dalam egoisme yang radikal dan intoleran.

Pancasila menjadi orientasi untuk tetap mengoreksi dan memperbaiki tafsiran terhadap ajaran agama sikap terorisme, intoleransi, radikalisme, dan egoisme.

Pancasila sungguh menampilkan model dan cara beragama yang baik, benar, dan indah, yaitu dengan tetap menghargai manusia lain dalam kebebasan yang sama dan setara.

Agama kiranya tidak menjadi penghambat bagi masyarakat Indonesia untuk berkembang dan maju dalam kebijakan publik dan politis yang plural.

Sebaliknya, agama – dengan dorongan semangat dari Pancasila – menjadi satu fakta sosial yang mendidik masyarakat Indonesia bermoral, bernalar sehat, dan menghargai kebenaran sebagai milik bersama.

Lewat tulisan ini, penulis juga ingin menggantungkan harapan agar masyarakat Indonesia tidak lagi terkungkung pada debat-debat yang menjatuhkan agama-agama lain dan salah menafsirkan ajaran agama demi tindakan yang tidak baik serta benar.

Penulis berharap pula bahwa setiap masyarakat beriman pada Tuhan masing-masing dan tampil sebagai saudara bagi semua (be a brother for all). Sebab, dalam agama terkandung nilai-nilai kebaikan untuk dimensi hidup yang kompleks.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang 'Toxic' ke Pemerintahan

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang "Toxic" ke Pemerintahan

Nasional
Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Nasional
Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Nasional
Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Nasional
Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Nasional
Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Nasional
Tak Dianggap Kader PDI-P, Jokowi dan Keluarga Diprediksi Gabung Golkar

Tak Dianggap Kader PDI-P, Jokowi dan Keluarga Diprediksi Gabung Golkar

Nasional
Prabowo Harap Semua Pihak Rukun meski Beda Pilihan Politik

Prabowo Harap Semua Pihak Rukun meski Beda Pilihan Politik

Nasional
Jokowi Sebut Penyusunan Kabinet Mendatang Hak Prerogatif Prabowo

Jokowi Sebut Penyusunan Kabinet Mendatang Hak Prerogatif Prabowo

Nasional
Temui Warga Aceh Usai Pilpres, Cak Imin Janji Lanjutkan Perjuangan

Temui Warga Aceh Usai Pilpres, Cak Imin Janji Lanjutkan Perjuangan

Nasional
Timnas Akan Hadapi Guinea untuk Bisa Lolos ke Olimpiade, Jokowi: Optimistis Menang

Timnas Akan Hadapi Guinea untuk Bisa Lolos ke Olimpiade, Jokowi: Optimistis Menang

Nasional
KPK Sebut Penyidik Bisa Jemput Paksa Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

KPK Sebut Penyidik Bisa Jemput Paksa Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

Nasional
TNI AD Mulai Tanam Padi di Merauke, KSAD: Selama Ini Hasilnya Kurang Baik

TNI AD Mulai Tanam Padi di Merauke, KSAD: Selama Ini Hasilnya Kurang Baik

Nasional
KPK Mengaku Bisa Tangkap Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Kapan Saja

KPK Mengaku Bisa Tangkap Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Kapan Saja

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com