BAGI politisi momentum apapun dapat dimanfaatkan untuk menarik simpati publik. Apapun itu, konstitusi kita memang berharap semua pihak memiliki akses untuk menyampaikan pendapat.
Terkadang memang menjengkelkan, tetapi faktanya tidak semua warga negara memiliki akses yang sama seperti politisi level elite.
Keangkuhan itu terlihat di layar-layar televisi ketika para politisi berkumpul dan melontarkan pendapat sambil merundung satu dengan yang lain.
Kita sebagai penonton awam termakan dengan retorika yang dibangun politisi. Padahal sebenarnya argumentasi itu disampaikan semata-mata hanya menjaga marwah partai atau nama baik seseorang.
Tradisi ini biasa ditemui ketika demokrasi negara itu dilecehkan dengan argumen-argumen elite yang tidak bertanggungjawab.
Anehnya lagi ketika kemampuan literasi publik yang makin merosot membuat para elite negara disembah bagaikan raja.
Tidak bisa dipandang sederhana bahwa politik hanya pekerjaan pemangku kepentingan atau orang-orang berkuasa yang memilki modal.
Secara konseptual, perspektif politik justru hidup dalam setiap warga negara. Tetapi persoalannya adalah warga nonelite tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk membendung oligargi.
Apalagi intervensi elite kelas wahid sudah masuk sampai ke dapur milik warga negara.
Selain itu, budaya ketimuran kita menjadi salah satu pendorong eksisnya jurang antara elite politik dan nonelite.
Bagi kita sebagai orang timur, elite yang memilki kuasa dan pengaruh tetap memiliki kedudukan di tengah masyaraat, meskipun elite tersebut tersandung banyak kasus yang notabene merugikan masyarakat.
Artinya, kesadaran kritis kita perlu bertumbuh untuk menangkal kebiasaan pelaku kriminal dianggap sebagai pemangku kebijakan.
Dinamika pemilihan umum, baik itu pemilihan bupati/wali kota sampai tingkat presiden tidak terlepas dari saling senggol berbagai pihak.
Tujuannya hanya satu, yaitu dukungannya bisa memenangkan kompetisi dan di satu sisi ada politik balas budi kepada pendukung jika calonnya terpilih sebagai pemimpin rakyat.
Siklus ini tetap terjadi, meskipun angka partisipasi politik masyarakat kita terus bertumbuh. Pertanyaannya kemudian, apakah partisipasi politik kita yang terus bertumbuh harus diiringi dengan perilaku intimidasi saat pemilu?