Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menyebut friksi antarmatra ataupun antarfaksi selalu berpeluang hadir di lembaga militer negara mana pun, termasuk Indonesia.
Hal ini tak lepas karena seorang prajurit dicetak untuk bermental petarung, memiliki semangat kompetisi, dan menjadi pemenang. Meski demikian, masing-masing elite harus mengetahui batasannya agar tidak memicu instabilitas situasi politik dan keamanan.
Baca juga: Saat KSAD Dudung Menjawab Isu Tak Harmonis dengan Panglima Andika
Sementara itu, Ketua Centra Initiative Al Araf mengingatkan agar para politikus di Senayan tidak memperkeruh situasi dengan mempolitisasi isu ketidakharmonisan tersebut. Pasalnya, kondisi itu justru berpotensi memicu terjadinya ruang konflik di internal institusi.
“Sudah semestinya pemimpin sipil menerapakan pola kontrol sipil obyektif atau democratic civilian control sehingga dapat meredam ruang politisasi di dalam tubuh TNI,” kata Araf.
Di sisi lain, politisasi isu renggangnya hubungan elite TNI juga dapat berpotensi mengganggu pembangunan profesionalisme di tubuh TNI itu sendiri, yang dalam jangka panjang dapat mengakibatkan terjadinya konflik internal di tubuh TNI.
Baca juga: Tak Hadiri Rapat DPR, Dudung Mengaku Diperintah Panglima TNI Andika Cek Kesiapan Pasukan
Selain itu, Araf menyebut selama ini pola kontrol dari pemimpin sipil terhadap militer lebih banyak menerapkan pola subyektif. Pola ini pula yang menjadi awal persoalan masalah konflik di dalam tubuh TNI.
“Pola kontrol sipil subyektif itu cenderung mengarah pada dimensi politisasi pemimpin sipil terhadap TNI dan Polri yang mengakibatkan terjadinya konflik internal seperti terjadi dalam kasus Panglima TNI dan KSAD,” tegas dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.