BARU-BARU ini Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut B. Pandjaitan mengatakan telah lama mengusulkan agar UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) diubah.
Luhut pun menjelaskan tujuan UU TNI diubah supaya perwira aktif TNI dapat ditugaskan di kementerian/lembaga tanpa harus menunggu jadi purnawirawan atau dipurnawirawankan.
Usulan Luhut ini sejatinya tidaklah baru. Bahkan beberapa waktu belakangan, tanpa mengubah UU TNI pun, penempatan perwira TNI aktif di jabatan sipil telah dilakukan.
Secara tidak langsung hal ini tentu telah membangunkan kembali dwi fungsi ABRI atau militerisme dalam ranah sipil.
Padahal salah satu jati diri TNI yang dinyatakan dalam UU TNI adalah TNI yang profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi.
Hal ini tentu membawa kemunduran demokrasi di Indonesia, karena bertentangan dengan semangat reformasi.
Sekalipun masih wacana dan berbahaya bagi demokrasi di Indonesia, pernyataan Luhut ini juga merupakan sebuah pengakuan akan masalah tentang penempatan perwira TNI aktif di jabatan sipil.
Pengakuan akan pengingkaran terhadap ketentuan Pasal 47 UU TNI yang menegaskan prajurit TNI yang menduduki jabatan sipil terlebih dahulu melepaskan diri dari dinas aktif di institusi TNI.
Apa yang dikatakan oleh Luhut, secara tidak langsung telah menampar wajah Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian yang beberapa waktu lalu, mengangkat perwira TNI aktif menjadi Pj kepala daerah.
Luhut turut menganulir pengingkaran terhadap penunjukan Pj kepala daerah yang mengenyampingkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/2022.
Di mana dalam putusan tersebut menggariskan jabatan struktural ASN yang dapat diisi Anggota TNI/Polri aktif sesuai dengan Pasal 47 UU TNI hanya diperbolehkan menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotik nasional, dan Mahkamah Agung.
Itupun hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan pimpinan departemen dan lembaga pemerintahan non departemen serta tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan departemen dan lembaga pemerintah non departemen di maksud.
Di mana jabatan di pemerintah daerah tidaklah termasuk dalam salah satu dari sepuluh jabatan struktural yang diperbolehkan.
Apalagi keputusan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian mengangkat perwira aktif TNI menjadi Pj Kepala Daerah ini bukan tidak mungkin akan bertambah jumlahnya. Mengingat pilkada serentak baru akan diselenggarakan pada November 2024.
Sementara sebanyak 272 kepala daerah habis atau akan habis masa jabatannya sebelum pilkada serentak dilaksanakan.
Luhut secara implisit menegaskan bahwa pelibatan perwira aktif TNI di ranah sipil selama ini harus berpegang pada ketentuan dalam UU TNI. Bukan peraturan perundang-undangan lainnya di bawah undang-undang yang jelas bertentangan.
Kelebihan perwira berpangkat jenderal adalah masalah lain yang dijelaskan oleh Luhut sebagai dasar kenapa UU TNI harus diubah.
Pengubahan UU TNI ini diharapkan dapat menghindari munculnya konflik di internal TNI yang terjadi karena perebutan jabatan.
Alasan kedua yang disampaikan oleh Luhut ini secara tersirat menegaskan bahwa reformasi di tubuh TNI belumlah usai. Terutama dalam hal manajemen sumber daya manusia.
Akan tetapi persoalan kelebihan ini semestinya tidak dipahami dengan mengubah UU TNI untuk menyebar perwira TNI aktif di jabatan sipil. Karena idealnya, mekanisme promosi yang lebih selektif lah yang harus diterapkan.
Permasalahan di tubuh institusi TNI semestinya diselesaikan secara internal. Karena kelebihan jumlah perwira tinggi TNI terjadi karena sistem promosi kepangkatan di tubuh TNI itu sendiri.
Opsi menyelesaikan permasalah tersebut dengan membuka kemungkinan konversi perwira TNI aktif dapat menduduki jabatan sipil, justru menimbulkan masalah baru.
Sebab, jabatan sipil mengalami kelebihan jumlah pejabat tinggi pratama dan pejabat tinggi madya.
Bukti nyata kelebihan jumlah pejabat tinggi pratama dan pejabat tinggi madya ini dapat dilihat dengan pembentukan organisasi tata kelola di kementerian/lembaga.
Di mana tugas dan fungsi antar masing-masing organisasi tata kelola yang setingkat sejatinya tidak begitu jelas demarkasinya. Atau dengan kata lain dapat digabungkan menjadi satu, namun justru dipecah menjadi beberapa.
Tak jarang hal ini hanya untuk mengakomodir keberadaan jabatan tertentu setingkat eselon II dan eselon I atau bahkan kementerian sekalipun.
Semisal penggabungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kementerian Kelautan, atau Kementerian Koordinator Perekonomian diubah menjadi kementerian teknis dan digabung dengan Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Investasi, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian BUMN. Kementerian tersebut memiliki ruang lingkup kerja yang relatif sama.
Atau penggabungan Direktorat Jenderal Tata Ruang di Kementerian Agraria dan Tata Ruang ke Badan Perencanaan Pembangunan Nasional di bawah Kedeputian Pengembangan Regional karena secara tugas dan fungsi bidang tata ruang merupakan unit kerja di bagian hulu atau perencanaan.
Akan lebih ideal apabila terintegrasi di bawah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Maka dari itu, masuknya perwira TNI aktif menduduki jabatan sipil, tentu hanya memindahkan locus permasalahan yang ada di institusi TNI ke kementerian/lembaga dan sudah bisa dipastikan menambah permasalahan yang hingga hari ini belum terselesaikan di kementerian/lembaga.
Namun demikian, persoalan ini justru membuktikan, baik di institusi TNI maupun di kementerian/lembaga, menyangkut reformasi birokrasi merupakan persoalan yang belumlah selesai.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.