ARAHAN dari Presiden Jokowi pada tanggal 2 Agustus 2020, untuk memastikan masyarakat memahami Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan membuka diskusi untuk menyerap masukan dari masyarakat harus segera dilaksanakan bukan hanya oleh segenap para pembantu Presiden, melainkan juga oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Kilas balik dari arahan tersebut membuat penulis teringat arahan sebelumnya dari Presiden Jokowi tanggal 20 September 2019, yaitu untuk menunda Pengesahan RKUHP meski sudah selesai dibahas bersama DPR pada tingkat I, dan memerintahkan Menkumham menjaring masukan dari masyarakat guna menyempurnakan RKUHP.
Pasalnya ada 14 pasal RKUHP yang perlu dikomunikasikan dengan DPR dan kalangan masyarakat yang menolak.
Isu krusial RKUHP yang disosialisasikan Kemenkumham di 12 kota adalah: hukum yang hidup (living law), penghinaan Presiden, menyatakan memiliki kekuatan gaib untuk mencelakakan orang, dokter tanpa izin, membiarkan unggas merusak kebun, gangguan proses peradilan, advokat curang, penodaan agama, penganiayaan hewan, menunjukkan alat pencegah kehamilan ke anak, bergelandangan yang mengganggu ketertiban umum, aborsi, kesusilaan (perzinaan, kohabitasi & perkosaan dalam perkawinan), serta pidana mati.
Dalam peringatan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 77, ada kerisauan di benak penulis bahwa sebagai Negara Hukum yang berdaulat, ternyata kita masih belum memiliki KUHP nasional yang dibuat oleh bangsa dengan bahasa sendiri, dan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila sebagai Staatsfundamentalnoorm.
Ikhtiar memperbaharui Wetboek van Strafrecht voor Nederlands-Indië yang telah diberlakukan sejak tahun 1918, dan kemudian ditegaskan pemberlakuannya sebagai “KUHP” di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana telah dicetuskan resolusinya sejak tahun 1963 silam.
Resolusi tersebut tentu bukan agar Indonesia sekadar memiliki “KUHP Nasional”, melainkan untuk memastikan beleid yang bisa dianggap sebagai “miniatur konstitusi” ini dapat memberikan kepastian hukum yang berkeadilan untuk seluruh masyarakat.
Karena faktanya, hingga ini belum ada terjemahan resmi dari 4 versi KUHP yang beredar (Moeljatno, Soesilo, Andi Hamzah, dan BPHN), dan digunakan untuk mengadili “jutaan” rakyat Indonesia.
Dalam perjalanannya, RKUHP yang disampaikan pertama kali ke DPR pada tahun 2012 di masa Presiden SBY belum sempat dibahas.
Kemudian pada tahun 2015, Presiden Jokowi menerbitkan Surpres yang ditindaklanjuti dengan pembahasan intensif bersama DPR selama lebih dari 4 tahun dengan melibatkan organisasi profesi, akademisi, praktisi, ahli, dan unsur masyarakat.
Perlu diakui, memang tidak mudah merumuskan RKUHP di negeri yang begitu majemuk suku, agama, dan budayanya. Apalagi secara universal, dikenal tiga jenis delik yang pengaturannya tidak pernah sama di KUHP di seluruh dunia, yaitu delik politik, delik kesusilaan, dan delik penghinaan.
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, Konstitusi dalam Pasal 28 J ayat 2 UUD 1945 telah menegaskan bahwa setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang, dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dalam suatu masyarakat yang demokratis.
Seluruh hukum pidana yang nanti akan menginduk pada RKUHP berfungsi untuk melindungi keseimbangan kepentingan negara, masyarakat, dan individu, serta mengatur tindak pidana secara lex certa dan lex stricta, agar tidak menimbulkan penafsiran lain yang terlalu luas.
Tujuannya untuk meminimalisir disalahgunakannya KUHP sebagai “hukum pembalasan” (lex talionis) yang kini dianggap telah mengakar kuat dalam kehidupan bermasyarakat.
Faktanya, KUHP peninggalan Belanda yang masih berlaku saat ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan hukum modern, karena masih mempertahankan kakunya penerapan Asas Legalitas (Pasal 1 ayat 1 KUHP) yang memiliki kecenderungan menghukum (punitive), tidak memiliki alternatif sanksi pidana, serta belum memiliki tujuan dan pedoman pemidanaan (standart of sentencing).