Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Albert Aries
Advokat dan Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Pengamat hukum pidana dan kebijakan publik

Merdeka dengan KUHP Nasional

Kompas.com - 20/08/2022, 08:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ARAHAN dari Presiden Jokowi pada tanggal 2 Agustus 2020, untuk memastikan masyarakat memahami Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan membuka diskusi untuk menyerap masukan dari masyarakat harus segera dilaksanakan bukan hanya oleh segenap para pembantu Presiden, melainkan juga oleh seluruh masyarakat Indonesia.

Kilas balik dari arahan tersebut membuat penulis teringat arahan sebelumnya dari Presiden Jokowi tanggal 20 September 2019, yaitu untuk menunda Pengesahan RKUHP meski sudah selesai dibahas bersama DPR pada tingkat I, dan memerintahkan Menkumham menjaring masukan dari masyarakat guna menyempurnakan RKUHP.

Pasalnya ada 14 pasal RKUHP yang perlu dikomunikasikan dengan DPR dan kalangan masyarakat yang menolak.

Isu krusial RKUHP yang disosialisasikan Kemenkumham di 12 kota adalah: hukum yang hidup (living law), penghinaan Presiden, menyatakan memiliki kekuatan gaib untuk mencelakakan orang, dokter tanpa izin, membiarkan unggas merusak kebun, gangguan proses peradilan, advokat curang, penodaan agama, penganiayaan hewan, menunjukkan alat pencegah kehamilan ke anak, bergelandangan yang mengganggu ketertiban umum, aborsi, kesusilaan (perzinaan, kohabitasi & perkosaan dalam perkawinan), serta pidana mati.

Dalam peringatan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 77, ada kerisauan di benak penulis bahwa sebagai Negara Hukum yang berdaulat, ternyata kita masih belum memiliki KUHP nasional yang dibuat oleh bangsa dengan bahasa sendiri, dan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila sebagai Staatsfundamentalnoorm.

Bukan sekadar punya KUHP

Ikhtiar memperbaharui Wetboek van Strafrecht voor Nederlands-Indië yang telah diberlakukan sejak tahun 1918, dan kemudian ditegaskan pemberlakuannya sebagai “KUHP” di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana telah dicetuskan resolusinya sejak tahun 1963 silam.

Resolusi tersebut tentu bukan agar Indonesia sekadar memiliki “KUHP Nasional”, melainkan untuk memastikan beleid yang bisa dianggap sebagai “miniatur konstitusi” ini dapat memberikan kepastian hukum yang berkeadilan untuk seluruh masyarakat.

Karena faktanya, hingga ini belum ada terjemahan resmi dari 4 versi KUHP yang beredar (Moeljatno, Soesilo, Andi Hamzah, dan BPHN), dan digunakan untuk mengadili “jutaan” rakyat Indonesia.

Dalam perjalanannya, RKUHP yang disampaikan pertama kali ke DPR pada tahun 2012 di masa Presiden SBY belum sempat dibahas.

Kemudian pada tahun 2015, Presiden Jokowi menerbitkan Surpres yang ditindaklanjuti dengan pembahasan intensif bersama DPR selama lebih dari 4 tahun dengan melibatkan organisasi profesi, akademisi, praktisi, ahli, dan unsur masyarakat.

Perlu diakui, memang tidak mudah merumuskan RKUHP di negeri yang begitu majemuk suku, agama, dan budayanya. Apalagi secara universal, dikenal tiga jenis delik yang pengaturannya tidak pernah sama di KUHP di seluruh dunia, yaitu delik politik, delik kesusilaan, dan delik penghinaan.

Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, Konstitusi dalam Pasal 28 J ayat 2 UUD 1945 telah menegaskan bahwa setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang, dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dalam suatu masyarakat yang demokratis.

Seluruh hukum pidana yang nanti akan menginduk pada RKUHP berfungsi untuk melindungi keseimbangan kepentingan negara, masyarakat, dan individu, serta mengatur tindak pidana secara lex certa dan lex stricta, agar tidak menimbulkan penafsiran lain yang terlalu luas.

Tujuannya untuk meminimalisir disalahgunakannya KUHP sebagai “hukum pembalasan” (lex talionis) yang kini dianggap telah mengakar kuat dalam kehidupan bermasyarakat.

Keunggulan RKUHP

Faktanya, KUHP peninggalan Belanda yang masih berlaku saat ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan hukum modern, karena masih mempertahankan kakunya penerapan Asas Legalitas (Pasal 1 ayat 1 KUHP) yang memiliki kecenderungan menghukum (punitive), tidak memiliki alternatif sanksi pidana, serta belum memiliki tujuan dan pedoman pemidanaan (standart of sentencing).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sebut Caleg Terpilih Tak Wajib Mundur jika Maju Pilkada, Ketua KPU Dinilai Ingkari Aturan Sendiri

Sebut Caleg Terpilih Tak Wajib Mundur jika Maju Pilkada, Ketua KPU Dinilai Ingkari Aturan Sendiri

Nasional
Minta La Nyalla Kembali Pimpin DPD RI, Fahira Idris: Penguatan DPD RI Idealnya Dipimpin Sosok Pendobrak

Minta La Nyalla Kembali Pimpin DPD RI, Fahira Idris: Penguatan DPD RI Idealnya Dipimpin Sosok Pendobrak

Nasional
Sejumlah Bantuan Jokowi ke Prabowo Siapkan Pemerintahan ke Depan...

Sejumlah Bantuan Jokowi ke Prabowo Siapkan Pemerintahan ke Depan...

Nasional
Amankan World Water Forum 2024 di Bali, Korlantas Kirim 1.532 Polantas Gabungan

Amankan World Water Forum 2024 di Bali, Korlantas Kirim 1.532 Polantas Gabungan

Nasional
Sudirman Said Angkat Bicara soal Isu Mau Maju Cagub Independen di Pilgub Jakarta

Sudirman Said Angkat Bicara soal Isu Mau Maju Cagub Independen di Pilgub Jakarta

Nasional
Soal Revisi UU Kementerian Negara, Yusril Sebut Prabowo Bisa Keluarkan Perppu Usai Dilantik Jadi Presiden

Soal Revisi UU Kementerian Negara, Yusril Sebut Prabowo Bisa Keluarkan Perppu Usai Dilantik Jadi Presiden

Nasional
“Oposisi” Masyarakat Sipil

“Oposisi” Masyarakat Sipil

Nasional
Soal Pernyataan Prabowo, Pengamat: Ada Potensi 1-2 Partai Setia pada Jalur Oposisi

Soal Pernyataan Prabowo, Pengamat: Ada Potensi 1-2 Partai Setia pada Jalur Oposisi

Nasional
Pakar Nilai Ide KPU soal Caleg Terpilih Dilantik Usai Kalah Pilkada Inkonstitusional

Pakar Nilai Ide KPU soal Caleg Terpilih Dilantik Usai Kalah Pilkada Inkonstitusional

Nasional
Pakar Pertanyakan KPU, Mengapa Sebut Caleg Terpilih Tak Harus Mundur jika Maju Pilkada

Pakar Pertanyakan KPU, Mengapa Sebut Caleg Terpilih Tak Harus Mundur jika Maju Pilkada

Nasional
Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Ogah Kerja Sama, Gerindra: Upaya Rangkul Partai Lain Terus Dilakukan

Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Ogah Kerja Sama, Gerindra: Upaya Rangkul Partai Lain Terus Dilakukan

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Gerindra Pastikan Tetap Terbuka untuk Kritik

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Gerindra Pastikan Tetap Terbuka untuk Kritik

Nasional
Kabinet Prabowo: Antara Pemerintahan Kuat dan Efektif

Kabinet Prabowo: Antara Pemerintahan Kuat dan Efektif

Nasional
Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com