Salin Artikel

Merdeka dengan KUHP Nasional

Kilas balik dari arahan tersebut membuat penulis teringat arahan sebelumnya dari Presiden Jokowi tanggal 20 September 2019, yaitu untuk menunda Pengesahan RKUHP meski sudah selesai dibahas bersama DPR pada tingkat I, dan memerintahkan Menkumham menjaring masukan dari masyarakat guna menyempurnakan RKUHP.

Pasalnya ada 14 pasal RKUHP yang perlu dikomunikasikan dengan DPR dan kalangan masyarakat yang menolak.

Isu krusial RKUHP yang disosialisasikan Kemenkumham di 12 kota adalah: hukum yang hidup (living law), penghinaan Presiden, menyatakan memiliki kekuatan gaib untuk mencelakakan orang, dokter tanpa izin, membiarkan unggas merusak kebun, gangguan proses peradilan, advokat curang, penodaan agama, penganiayaan hewan, menunjukkan alat pencegah kehamilan ke anak, bergelandangan yang mengganggu ketertiban umum, aborsi, kesusilaan (perzinaan, kohabitasi & perkosaan dalam perkawinan), serta pidana mati.

Dalam peringatan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 77, ada kerisauan di benak penulis bahwa sebagai Negara Hukum yang berdaulat, ternyata kita masih belum memiliki KUHP nasional yang dibuat oleh bangsa dengan bahasa sendiri, dan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila sebagai Staatsfundamentalnoorm.

Bukan sekadar punya KUHP

Ikhtiar memperbaharui Wetboek van Strafrecht voor Nederlands-Indië yang telah diberlakukan sejak tahun 1918, dan kemudian ditegaskan pemberlakuannya sebagai “KUHP” di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana telah dicetuskan resolusinya sejak tahun 1963 silam.

Resolusi tersebut tentu bukan agar Indonesia sekadar memiliki “KUHP Nasional”, melainkan untuk memastikan beleid yang bisa dianggap sebagai “miniatur konstitusi” ini dapat memberikan kepastian hukum yang berkeadilan untuk seluruh masyarakat.

Karena faktanya, hingga ini belum ada terjemahan resmi dari 4 versi KUHP yang beredar (Moeljatno, Soesilo, Andi Hamzah, dan BPHN), dan digunakan untuk mengadili “jutaan” rakyat Indonesia.

Dalam perjalanannya, RKUHP yang disampaikan pertama kali ke DPR pada tahun 2012 di masa Presiden SBY belum sempat dibahas.

Kemudian pada tahun 2015, Presiden Jokowi menerbitkan Surpres yang ditindaklanjuti dengan pembahasan intensif bersama DPR selama lebih dari 4 tahun dengan melibatkan organisasi profesi, akademisi, praktisi, ahli, dan unsur masyarakat.

Perlu diakui, memang tidak mudah merumuskan RKUHP di negeri yang begitu majemuk suku, agama, dan budayanya. Apalagi secara universal, dikenal tiga jenis delik yang pengaturannya tidak pernah sama di KUHP di seluruh dunia, yaitu delik politik, delik kesusilaan, dan delik penghinaan.

Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, Konstitusi dalam Pasal 28 J ayat 2 UUD 1945 telah menegaskan bahwa setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang, dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dalam suatu masyarakat yang demokratis.

Seluruh hukum pidana yang nanti akan menginduk pada RKUHP berfungsi untuk melindungi keseimbangan kepentingan negara, masyarakat, dan individu, serta mengatur tindak pidana secara lex certa dan lex stricta, agar tidak menimbulkan penafsiran lain yang terlalu luas.

Tujuannya untuk meminimalisir disalahgunakannya KUHP sebagai “hukum pembalasan” (lex talionis) yang kini dianggap telah mengakar kuat dalam kehidupan bermasyarakat.

Keunggulan RKUHP

Faktanya, KUHP peninggalan Belanda yang masih berlaku saat ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan hukum modern, karena masih mempertahankan kakunya penerapan Asas Legalitas (Pasal 1 ayat 1 KUHP) yang memiliki kecenderungan menghukum (punitive), tidak memiliki alternatif sanksi pidana, serta belum memiliki tujuan dan pedoman pemidanaan (standart of sentencing).

Berdasarkan data tahun 2021, jumlah penghuni lembaga permasyarakatan (lapas) mencapai 271.007 orang (201 persen) dari total kapasitas sebanyak 134.835 orang, belum termasuk Rutan Polri.

Sehingga tidak mengherankan kondisi lapas begitu sesak (overcrowding), dan dengan banyaknya penjatuhan pidana “penjara pendek” justru menjadikan lapas berpotensi menjadi “sekolah kejahatan” (too short for rehabilitation too long for corruption).

Sebagai hukum pidana dan sistem pemidanaan modern, RKUHP mengusung empat misi, yakni:

1. Dekolonialisasi, yaitu upaya menghilangkan nuansa kolonial dalam substansi KUHP lama.
2. Demokratisasi, yaitu perumusan pasal tindak pidana dalam RKUHP sesuai Konstitusi dan Putusan MK.
3. Konsolidasi, yaitu penyusunan kembali ketentuan pidana dari KUHP lama dan sebagian UU Pidana di luar KUHP dengan Rekodifikasi (terbuka-terbatas).
4. Harmonisasi, yaitu bentuk adaptasi dan keselarasan dalam merespons perkembangan hukum terkini.

Terlepas adanya beberapa pasal dalam buku II RKUHP (Tindak Pidana) yang masih menjadi pro dan kontra di sebagian kalangan masyarakat, justru buku I RKUHP (Aturan Umum) sebagai “operator” dari buku II RKUHP menawarkan perubahan revolusioner dan banyak keunggulan, sehingga diharapkan dapat mewujudkan keadilan restoratif, korektif, dan rehabilitatif yang merupakan ciri dari hukum pidana dan sistem pemidanaan modern.

Adapun keungggulan-keunggulan Buku I RKUHP tersebut antara lain, berfungsi sebagai pedoman bagi penerapan Buku Kedua, serta UU Tindak Pidana di luar KUHP, termasuk PERDA Provinsi/Kabupaten, sehingga menjadi Kodifikasi dan Unifikasi Hukum Pidana yang terintegrasi dan berkeadilan.

RKUHP juga menghadirkan pengaturan baru, yaitu Tujuan Pemidanaan, berupa pencegahan, pembinaan, menyelesaikan konflik, menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah terpidana (Pasal 51).

Kemudian Pedoman Pemidanaan, yaitu jika ada pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan (Pasal 53), termasuk 11 poin pertimbangan bagi hakim sebelum menjatuhkan pemidanaan, misalnya pemaafan dari korban/keluarganya sebagai wujud Keadilan Restoratif (Pasal 54 ayat 1).

Penentuan berat ringannya sanksi pidana dalam RKUHP telah menggunakan Modified Delphi Method, sehingga ukurannya menjadi proporsional dan rasional, dan mengutamakan penjatuhan pidana pokok yang lebih ringan, misalnya Denda, jika dapat mencapai tujuan pemidanaan (Pasal 57), serta juga mengatur perluasan jenis pidana pokok, yaitu: pidana penjara; pidana tutupan; pidana pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial (Pasal 65 ayat 1).

Selain memberikan jalan tengah bagi pro dan kontra penjatuhan Pidana Mati dengan masa percobaan 10 tahun, RKUHP juga memperkenalkan model Putusan Pengampunan Oleh Hakim (Judicial Pardon), yaitu putusan pernyataan bersalah terhadap terdakwa tanpa disertai pidana atau tindakan, sehingga diharapkan dapat menjadi salah satu pranata hukum untuk mengurangi overcrowding Lapas (Pasal 54 ayat 2).

Dialog dan Pembahasan

Adanya kesalahpahaman, kekhawatiran dan prasangka lainnya atas suatu norma hukum dalam RKUHP sesungguhnya merupakan hal yang wajar dalam penyusunan legislasi yang demokratis.

Untuk itu, sosialisasi dan dialog publik RKUHP diharapkan mampu menjelaskan bahwa penyusunan RKUHP dilakukan dengan keterbukaan dan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation), serta substansinya sudah disesuaikan dengan Putusan-Putusan MK terkait, khususnya berkaitan dengan kebebasan berpendapat.

Oleh karena itu, sosialisasi dan dialog publik RKUHP secara dua arah perlu dilakukan secara pararel dengan penyelesaian pembahasan RKUHP, yaitu untuk memastikan bahwa maksud dan tujuan baik untuk memperbarui KUHP dipahami, sekaligus menampung setiap usulan masyarakat untuk didengar, dijelaskan, dan dipertimbangkan dalam penyelesaian pembahasan RKUHP.

Namun demikian, jika pada akhirnya masih terdapat perbedaan pandangan antara penyusun RKUHP dan sebagian kalangan masyarakat yang menolak, seharusnya tidak menjadi alasan untuk terus mempertahankan status quo dari KUHP, dan menegasikan upaya kita bersama menyelesaikan pembahasan RKUHP yang pastinya tidak akan pernah sempurna, serta perlu terus disesuaikan dengan kebutuhan hukum masyarakat.

https://nasional.kompas.com/read/2022/08/20/08300011/merdeka-dengan-kuhp-nasional-

Terkini Lainnya

Logo dan Tema Hardiknas 2024

Logo dan Tema Hardiknas 2024

Nasional
Nasdem Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran, Nasib Koalisi Perubahan di Ujung Tanduk

Nasdem Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran, Nasib Koalisi Perubahan di Ujung Tanduk

Nasional
PKS Undang Prabowo ke Markasnya, Siap Beri Karpet Merah

PKS Undang Prabowo ke Markasnya, Siap Beri Karpet Merah

Nasional
Selain Nasdem, PKB Juga Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Selain Nasdem, PKB Juga Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
BRIN Bahas Pengembangan Satelit untuk Waspadai Permasalahan Keamanan Antariksa

BRIN Bahas Pengembangan Satelit untuk Waspadai Permasalahan Keamanan Antariksa

Nasional
Nasdem dukung Prabowo-Gibran, Golkar Tak Khawatir Jatah Menteri Berkurang

Nasdem dukung Prabowo-Gibran, Golkar Tak Khawatir Jatah Menteri Berkurang

Nasional
GASPOL! Hari Ini: Hasto Kristiyanto dan Hadirnya Negara Kekuasaan

GASPOL! Hari Ini: Hasto Kristiyanto dan Hadirnya Negara Kekuasaan

Nasional
Kumpulkan 777 Komandan Satuan, KSAD: Jangan Hanya 'Copy Paste', Harus Bisa Berinovasi

Kumpulkan 777 Komandan Satuan, KSAD: Jangan Hanya "Copy Paste", Harus Bisa Berinovasi

Nasional
Bertemu Pratikno, Ketua Komisi II DPR Sempat Bahas Penyempurnaan Sistem Politik

Bertemu Pratikno, Ketua Komisi II DPR Sempat Bahas Penyempurnaan Sistem Politik

Nasional
Waketum Nasdem Mengaku Dapat Respons Positif Prabowo soal Rencana Maju Pilkada Sulteng

Waketum Nasdem Mengaku Dapat Respons Positif Prabowo soal Rencana Maju Pilkada Sulteng

Nasional
Bertemu Komandan Jenderal Angkatan Darat AS, Panglima TNI Ingin Hindari Ketegangan Kawasan

Bertemu Komandan Jenderal Angkatan Darat AS, Panglima TNI Ingin Hindari Ketegangan Kawasan

Nasional
5.791 Personel Polri Dikerahkan Amankan World Water Forum Ke-10 di Bali

5.791 Personel Polri Dikerahkan Amankan World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
Golkar Buka Suara soal Atalia Praratya Mundur dari Bursa Calon Walkot Bandung

Golkar Buka Suara soal Atalia Praratya Mundur dari Bursa Calon Walkot Bandung

Nasional
Komisi II DPR Ungkap Kemungkinan Kaji Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Komisi II DPR Ungkap Kemungkinan Kaji Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Nasional
PKB-Nasdem Merapat, Koalisi Prabowo Diprediksi Makin 'Gemoy'

PKB-Nasdem Merapat, Koalisi Prabowo Diprediksi Makin "Gemoy"

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke