ENTAH hanya sebuah kebetulan, selama sekitar dua bulan menjelang Hari Ulang Tahun Kemerdekaan HUT ke-77 RI, Kepala Negara, Presiden Joko Widodo berulang kali menyampaikan peringatan serius.
"Saat ini dunia kita penuh dengan ketidakpastian, dunia dalam keadaan sulit, dunia dalam keadaan yang tidak mudah. Jangan sampai kita terpeleset ke dalam krisis pangan dan energi. Saya memberikan gambaran seperti ini agar kita semua betul-betul waspada, betul-betul mengalkulasi, menghitung secara detail, sehingga langkah antisipasinya tepat, langkah antisipasinya betul, benar," ungkap Jokowi.
Dalam konteks perayaan HUT Kemerdekaan ke-77 RI, peringatan Presiden Jokowi tersebut menggugah kita untuk berefleksi: mengapa hingga usia ke-77 bangsa Indonesia masih dibayang-bayangi krisis pangan dan energi?
Lalu, langkah apa yang mesti ditempuh bangsa kita agar terhindar dari ancaman krisis pangan dan energi. Atau apa yang harus kita lakukan supaya dapat mengalami ‘kemerdekaan’ (baca: keamanan dan kedaulatan) pangan dan energi?
Sejatinya, krisis pangan dan energi sudah berulang kali terjadi sepanjang usia kemerdekaan Indonesia. Sebut saja, krisis pangan tahun 1965-1966, tahun 1970-1972, tahun 1999-2002, dan krisis 2007- 2008.
Ancaman krisis pangan dan energi yang sekarang diberi peringatan oleh Presiden Jokowi, sebetulnya bukan baru terjadi sekarang. Tetapi itu sudah mulai terjadi semenjak merebaknya pandemi Covid-19 pada awal 2020 lalu.
Sayangnya, ketika pandemi Covid-19 mulai mereda dan kegiatan perekonomian mulai menggeliat, pecah perang Rusia dan Ukraina pada 24 Februari 2022 lalu.
Perang yang dikombinasikan dengan rentetan peristiwa bencana alam banjir bandang, kekeringan dan badai telah mengakibatkan penurunan produksi bahan pangan, dan mengganggu sistem distribusi pasokan pangan dan energi di tingkat global.
Ancaman krisis pangan dan energi 2022 ibarat ‘awan pekat’ yang dapat menimbulkan badai krisis ekonomi global.
Merujuk ke analisas Bank Dunia (WB) dan Dana Moneter Internasional (IMF), pada Rakornas Pengawasan Intern Pemerintah Tahun 2022 di Istana Negara, Jakarta, 14 Juni lalu, Presiden menyampaikan bahwa perekonomian di 60 negara diperkirakan akan ambruk. Dari angka tersebut, 40 negara dipastikan akan mengalami kejatuhan ekonomi.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Briefing No.162 World Economic Situation and Prospects: July 2022, menyebutkan bahwa Pada Juni 2022, sebanyak 37 bank sentral negara berkembang memulai pengetatan moneter, di samping beberapa negara—seperti Brasil—yang telah memasuki siklus pengetatan tahun lalu.
Menurut PBB, lebih banyak negara, khususnya di Afrika, diperkirakan akan memasuki fase pengetatan moneter menyusul ekspektasi kenaikan suku bunga kebijakan Bank Sentral Eropa.
Hingga Juni 2022, hanya beberapa negara, terutama di Asia Timur dan Tenggara, termasuk China, Jepang, Indonesia, Thailand, dan Vietnam, yang belum mengumumkan niat mereka untuk memperketat sikap kebijakan moneternya.
Krisis pangan dan energi di Turki, misalnya, telah memicu inflasi hingga melonjak menjadi 61,1 persen. Di AS, inflasi sudah melompat menjadi 8,5 persen dari yang biasanya di bawah 1 persen.
Repotnya, gelombang krisis pangan dan energi global mulai terasa di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS), misalnya, menyatakan bahwa krisis pangan dan energi secara global memberikan tekanan ke inflasi domestik sepanjang 2022, khususnya komponen energi yang terus menguat.