Akibatnya inflasi Juli 2022 sebesar 0,64 persen dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm).
Menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono dalam konferensi pers, Senin (1/8) secara tahunan (year-on-year/yoy), laju inflasi terakselerasi.
Inflasi Juli 2022 tercatat 4,94 persen yoy, lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang 4,35 persen sekaligus jadi yang tertinggi sejak Oktober 2015.
Pangan dan energi adalah isu pembangunan yang perlu penanganan serius. Dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta jiwa, harus diakui Indonesia masih bergulat dengan masalah ketahanan pangan.
BPS melaporkan angka prevalensi ketidakcukupan pangan nasional tahun 2020 sebesar 8,34 persen. Angka tersebut naik 0,71 persen dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 7,63 persen.
Program pangan dunia memperkirakan bahwa 19,4 juta orang Indonesia tidak dapat memenuhi kebutuhan diet mereka.
Sementara itu Laporan Global Food Security Index (GFSI) 2020 yang mengukur ketahanan pangan di beberapa negara, menempatkan Indonesia di peringkat 65 dari 113 negara.
Peringkat Indonesia masih di bawah negara Asean lain seperti Singapura (peringkat 19), Malaysia (peringkat 43), Thailand (peringkat 51), dan Vietnam (peringkat 63). (Bdk. databoks.katadata.co.id).
Memang, Presiden telah bertekad untuk mencapai target ketahanan pangan SDG Goal Nomor 2 pada tahun 2030 melalui pengembangan sektor pertanian dan memperjuangkan kedaulatan dan keberlanjutan pangan, khususnya dalam konteks pandemi Covid-19.
Namun, tak ada yang bisa menjamin bahwa target itu bisa direalisasikan. Apalagi, masa pemerintahan Presiden Jokowi sudah akan berakhir pada Oktober 2024.
Di bidang energi Indonesia masih berkutat dengan masalah. Ancaman krisis energi kian besar lantaran pemenuhan energi Indonesia, sangat bergantung pada energi fosil, sedangkan kontribusi energi baru dan terbarukan (EBT) masih relatif kecil.
Dalam talkshow virtual bertajuk "Outlook Energy Indonesia 2021" pada 6 Januari 2021 lalu, disebutkan bahwa Indonesia sangat kaya akan sumber energi terbarukan, seperti angin, matahari, air, panas bumi, arus laut dan lain-lain dengan potensi bisa mencapai 442 GW. (www.esdm.go.id).
Sementara itu Rencana Umum Energi Nasional menyebutkan target EBT, yaitu 9,82 persen (2015), 10,42 persen (2016), 10,93 persen (2017), 11,58 persen (2018), 12,20 persen (2019), dan 13,42 persen (2020).
Namun, pada kenyataannya target tersebut belum bisa dicapai. Pada 2015 misalnya, kontribusi EBT hanya 8 persen, sedangkan energi fosil 98 persen.
Hingga akhir triwulan ketiga tahun 2021 pangsa EBT dalam bauran energi primer hanya mencapai 11,2 persen, jauh di bawa target EBT 23 persen dalam empat tahun ke depan.