Saat awal kasus ini mengemuka, Polri didesak menonaktifkan Hendra lantaran dia disebut melakukan penekanan terhadap pihak keluarga untuk tak membuka peti jenazah Brigadir J.
Menurut keluarga Brigadir J, Hendra juga sempat memberikan perintah yang terkesan mengintimidasi mereka.
Posisi Hendra di Karo Paminal pun kini digantikan oleh Brigjen Anggoro Sukartono yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Biro Pengawasan dan Pembinaan Profesi (Karo Wabprof) Divpropam Polri.
Adapun Brigjen Benny Ali dicopot dari jabatannya sebagai Kepala Biro Provos Divisi Propam Polri.
Bersama Sambo dan Hendra, Benny dimutasi menjadi perwira tinggi Pelayanan Markas (Yanma).
Kursi yang ditinggalkan Benny itu kini diduduki oleh Kombes Gupuh Setiyono yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Bagian Pelayanan dan Pengaduan (Kabag Yanduan) Divisi Propam Polri.
Keputusan tentang pencopotan tiga perwira tinggi Polri dan beberapa personel kepolisian lainnya tertuang dalam Surat Telegram Kapolri Nomor 1628/VIII/Kep/2022 tertanggal 4 Agustus 2022.
Terhadap mereka, polisi masih terus melakukan pemeriksaan melalui tim khusus (Timsus).
"Dimutasi dalam status proses pemeriksaan oleh Irsus (Inspektorat Khusus) Timsus," kata Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Kadiv Humas) Polri Irjen Dedi Prasetyo saat dihubungi, Kamis (4/8/2022).
Melihat dinamika ini, peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) bidang kepolisian, Bambang Rukminto berpandangan, memungkinkan adanya tersangka lain dalam kasus ini.
Sebab, polisi menyangkakan Pasal 55 dan Pasal 56 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap Bharada E, sanksi yang biasanya dijatuhkan ke tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa pelaku.
"Dalam hal ini saya mengapresiasi Bareskrim yang segera menetapkan tersangka. Dengan penerapan Pasal 55 dan 56 artinya membuka peluang ada tersangka lain," kata Bambang kepada Kompas.com, Kamis (4/8/2022).
Baca juga: Nasib 25 Polisi Tak Cakap Tangani Kasus Brigadir J Ada di Tangan Irsus
Untuk mengetahui keterlibatan pihak lain, kata Bambang, harus diusut dengan tuntas hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa ini.
Misalnya, senjata api jenis pistol Glock-17 yang diduga digunakan Bharada E untuk menembak Brigadir J.
Bambang menyampaikan, penggunaan pistol tersebut oleh Bharada E tak sesuai aturan dasar kepolisian. Sebab, merujuk aturan, polisi golongan tamtama mestinya menggunakan senjata laras panjang ditambah sangkur.
Apalagi, spesifikasi Glock-17 harusnya digunakan untuk tempur. Anggota kepolisian yang bertugas menjaga perwira Polri, baik ajudan maupun sopir, seharusnya tak memerlukan senjata api dengan spesifikasi seperti Glock.
"Pistol Glock-17 yang dipakai E itu milik siapa? Siapa yang memberi rekomendasi? Apakah 5 peluru pada korban itu dari pistol yang sama?" ujar Bambang.
Selain itu, lanjut Bambang, polisi harus terus memeriksa pihak-pihak terkait kasus ini, tak terkecuali Ferdy Sambo dan istrinya, Putri Candrawathi.
Bambang mengatakan, kasus ini mesti diungkap secara transparan ke publik jika polisi hendak mengembalikan kepercayaan masyarakat.