Sebaliknya, pencinta dan pembenci adalah mereka yang berkaca mata kuda yang tidak mampu melihat sang calon di luar persepsi sempitnya.
Oleh pecinta semuanya dianggap baik atau semuanya buruk di mata pembencinya. Bukan akal sehat yang digunakan, tetapi emosi sebagai penentu pilihannya. Inilah salah satu kelemahan berdemokrasi dan penyebab polarisasi dan perpecahan bangsa.
Kita semua masih ingat bahwa pilkada DKI 2017 antara petahana Ahok-Djarot lawan Anies- Sandiaga Uno, adalah pemilu yang sangat panas dan membelah pemilih secara emosional.
Berbagai isu agama dan identitas muncul dan mencapai puncaknya pada dijebloskannya Ahok kedalam bui secara tidak adil.
Panasnya pilkada ini berlanjut sampai pada pilpres 2019 antara Jokowi dan Prabowo. Perpecahan konstituen atas dasar identitas dan SARA ini rasanya masih berlanjut terus sampai sekarang, meski sudah agak mereda.
Oleh para pembenci Anies, semua kesalahan dibebankan kepadanya karena sebagian pendukungnya dikatakan ada di kelompok Islam garis keras seperti FPI, HTI, dan sejenisnya.
Padahal di putaran pertama Anies dikalahkan oleh petahana dan baru pada putaran kedua, ketika partai-partai pendukung AHY yang tersingkirkan di putaran pertama, Demokrat (netral?), PAN dan PPP mengalihkan dukungannya ke Anies-Uno, dia akhirnya menang.
Apa artinya itu? Artinya, pertama, suara kelompok keras pendukung Anies tidak cukup besar untuk bisa memenangkan Anies langsung pada putaran pertama. Kelompok garis keras ini suaranya lebih vokal dari kekuatan politiknya.
Kedua, suara kelompok gaduh yang tidak menentukan itu terbukti sekali lagi dengan kekalahan Prabowo yang juga didukung oleh kelompok sama dalam pilpres 2019.
Ketiga, salah satu kelemahan demokrasi liberal adalah kenyataan bahwa satu suara preman sama nilainya dengan satu suara profesor. Satu suara setan sama nilainya dengan satu suara malaikat.
Anies oleh pembencinya dituduh oportunis dan merekayasa dukungan kelompok garis keras Muslim.
Saya lebih percaya bahwa dukungan kelompok itu adalah prakarsa kelompok garis keras itu sendiri yang lebih bertujuan menghalangi Ahok jadi Gubernur terpilih daripada mendukung Anies.
Andai kata kelompok penggaduh berprakarsa mendukung pasangan Ahok-Djarot, apa kira-kira pasangan cagub itu akan menolaknya?
Politisi itu kerjanya mencari dukungan suara. Khususnya menjelang dan dalam pemilu. Karenanya, sulit untuk tidak mengkategorikan setiap politisi sebagai oportunis.
Yang sangat disayangkan, begitu kerasnya kecaman pembenci Anies sampai merambah pada rasisme.