JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencium kejanggalan dalam keputusan Mahkamah Agung (MA) meloloskan delapan nama calon hakim ad hoc pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat untuk Pengadilan HAM tahun 2022.
Kontras menilai lolosnya delapan nama calon hakim ad hoc ini janggal karena ada perubahan waktu pengumuman, dari yang seharusnya diumumkan pada Jumat (22/7/2022) menjadi Senin (25/7/2022).
"Pengamatan ini didasari dengan kenyataan bahwa ada penundaan waktu pengumuman yang semula dinyatakan akan disampaikan pada Jumat (22/7) menjadi Senin (25/7)," ujar Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti dalam keterangannya, Selasa (26/7/2022).
Baca juga: MA Loloskan 8 Hakim Ad Hoc untuk Pengadilan HAM Berat, Ini Nama-namanya
Selain itu, kejanggalan juga ditemukan Kontras lantaran ada perubahan jumlah peserta yang dinyatakan lulus seleksi di tiap tingkatan pengadilan, yakni untuk tingkat pertama dan banding.
Fatia mengatakan, kini masing-masing tingkat diisi oleh empat nama hakim, padahal awalnya MA menyatakan bahwa akan ada 12 hakim yang direkrut.
"Kami berpendapat bahwa seharusnya maksimal empat saja nama hakim yang dinyatakan lulus untuk bertugas di tingkat pertama, meski hanya ada dua nama yang memenuhi kualifikasi berkaca pada hasil pemantauan langsung kami di proses wawancara," tutu dia.
Adapun kualifikasi yang Kontras maksud adalah mengenai pengetahuan para peserta seleksi mengenai unsur pelanggaran HAM berat, konsep rantai komando, dan pemahaman mereka mengenai hukum acara Pengadilan HAM.
Selain itu, Kontras memantau dan memeriksa rekam jejak sejumlah calon hakim yang rawan konflik kepentingan.
Sejumlah hakim, kata Fatia, merupakan purnawirawan dan atau memiliki rekam jejak aktivitas yang erat dengan TNI.
Sementara itu, terdakwa tunggal di Pengadilan HAM untuk Peristiwa Paniai 2014, IS, juga memiliki latar belakang TNI.
"Untuk kemungkinan dibutuhkannya hakim ad hoc untuk tingkat banding di Pengadilan HAM untuk Peristiwa Paniai 2014 atau Pengadilan HAM untuk pelanggaran HAM berat lainnya, MA semestinya bisa menggunakan mekanisme seleksi berikutnya di waktu yang berbeda," kata Fatia.
Baca juga: Pengadilan HAM di Indonesia
Ia kemudian menyinggung Pasal 27 Ayat 2 UU 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Pasal yang mengatur jumlah hakim ad hoc sebagai Majelis Hakim Pengadilan HAM itu menunjukkan pentingnya peranan hakim Ad Hoc dalam penegakan keadilan dan hak para korban pelanggaran HAM berat.
Sehingga, menjadi penting bagi M, termasuk Panitia Seleksi Hakim Ad Hoc Pengadilan HAM untuk hanya memilih para calon yang memenuhi kualifikasi terlepas ada jumlah minimal yang diatur dalam Pasal 28 UU 26 Tahun 2000.
"Masa jabatan hakim ad hoc yang dimungkinkan mencapai 10 tahun sebagaimana Pasal 28 Ayat 3 UU 26/2000 membuat pentingnya memilih hakim ad hoc yang berkualitas semakin diperlukan," kata dia.