Selain itu Suharto memastikan mengikuti anjuran Barat dengan tidak menasionalisasikan aset-aset perusahaan asing di Indonesia (Lih. Florence Lamoureux, Indonesia-A Global Studies Handbook, hlm. 65-67).
Namun, lebih kurang 32 tahun kemudian, Presiden Suharto pada tanggal 15 Januari 1998, di Jalan Cendana menjadi pesakitan IMF.
Namun, sang dokter kali ini tak membawa “kesembuhan” sebagaimana tahun 1966/1967, tetapi membawa Indonesia atau lebih tepat rezim Suharto pada ambang kehancuran.
Beberapa bulan kemudian, tepatnya 21 Mei 1998, Presiden Suharto mundur di tengah krisis ekonomi dan kerusuhan yang melanda beberapa kota di Indonesia.
Ekonomi menjadi satu basis penting bangunan sebuah bangsa dan negara. Dan basis ekonomi seperti apakah yang perlu terus diperkuat?
Barangkali di tengah kemajuan ilmu ekonomi yang semakin canggih di abad ini dengan tantangan yang lebih kompleks membuat para ilmuwan termasuk ilmuwan ekonomi terus mengkaji berbagai kemungkinan.
Namun adalah baik juga melihat kembali gagasan Hatta, tokoh bangsa ini. Dalam berbagai tulisan Hatta tetap pada prinsip dasar yang tertuang pada Pasal 33 UUD Negara RI tahun 1945.
Prinsip itu oleh Hatta diuraikan dalam tiga aspek (Tiga Aspek ini Lih. Moh. Hatta, Beberapa Fasal Ekonomi, hlm. 265-283), yaitu pertama terkait ideologi; kedua soal praktik; dan ketiga soal koordinasi.
Soal ideologi, Hatta menandaskan bahwa bangunan ekonomi Indonesia berdiri di atas dasar cita-cita tolong-menolong, cita-cita kekeluargaan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 33, yaitu dasar koperasi.
Prinsip tolong-menolong, solidaritas ini berhadapan langsung dengan individualisme yang menjadi basis ekonomi kapitalisme.
Hatta melukiskan sikap individualisme sebagai sikap perorangan yang mengutamakan diri sendiri dan mendahulukan kepentingan diri sendiri dari kepentingan orang lain.
Kalau perlu mencari keuntungan bagi diri sendiri dengan mengorbankan kepentingan orang lain.
Berlainan dengan sikap tersebut, Bung Hatta mengedepankan sikap individualita, yaitu menjadikan manusia insaf akan harga dirinya, dan bertekad kuat membela kepentingan koperasi (Lihat Karya Lengkap Bung Hatta-Buku 4, hlm. 237-238).
Kedua, soal Praktik, Hatta menandaskan tentang membarui tenaga produktif. Bagi Hatta pekerjaan ini berat dan sukar, tetapi wajib didahulukan dari segala-galanya.
Karena pembaruan tenaga produktif itulah dasar pembangungan ekonomi Indonesia (Hatta, Beberapa Fasal Ekonomi, hlm. 273).