Contohnya, jika pemda di Belgia boleh membuka kantor perwakilan di luar negeri, maka hal ini dilarang di Indonesia. Hal ini tidak lain karena kekhawatiran pemerintah pusat akan kemungkinan munculnya praktik protodiplomasi. Contohnya yang dulu kerap terjadi di Aceh dan di Papua.
Dalam melakukan paradiplomasi, kepala daerah di Indonesia juga harus memperoleh surat kuasa dari pemerintah pusat berupa “Full Power Letter.”
Tanpa surat sakti ini, kepala daerah tidak dapat menggunakan wewenang dalam membangun hubungan luar negeri dan menandatangani kerja sama internasional.
Walaupun tidak se-leluasa seperti di negara federal pada umumnya, praktik paradiplomasi di Indonesia menunjukan peningkatan yang cukup signfikan. Salah satu penyebabnya adalah dukungan pemerintah pusat melalui kebijakan yang pro-paradiplomasi.
Di era SBY, misalnya, pemerintah pusat secara aktif mendorong pemda untuk menjalin kerja sama dengan mitra asing.
Bahkan pada saat kunjungan kenegaraan ke Australia tahun 2010, SBY mengajak secara langsung para pengusaha Australia untuk menjalin kerja sama dengan pemda yang ada di Indonesia.
Sedangkan di era Jokowi, kebijakan luar negeri yang berfokus pada diplomasi ekonomi dan investasi dilaksanakan, salah satunya dengan melibatkan pemda sebagai aktor utama.
Contohnya, kemitraan strategis komprehensif antara Indonesia dan Tiongkok dalam skema Belt and Road Initiatives (BRIs) telah melahirkan pelbagai kerja sama antarpemda yang ditunjuk sebagai pilot sites – Sumatera Utara, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Utara dengan pemda dan pihak swasta yang ada di Tiongkok. Misalnya, kerjasama investasi, pariwisata, dan pendidikan.
Selain itu, sejak rencana pemindahan Ibu Kota negara Nusantara kembali digaungkan pascapagebluk covid-19 mulai terkendali, terjadi peningkatan kunjungan pemda dan pengusaha lokal dari Sabah dan Sarawak Malaysia ke Balikpapan untuk membahas kerja sama perbatasan, perdagangan, dan logistik.
Terlepas dari adanya dukungan pemerintah pusat terkait paradiplomasi, terdapat beberapa masalah yang perlu direspons.
Pertama, kurangnya SDM masyarakat utamanya di daerah mengenai kemampuan berbahasa asing, keahlian membuat rancangan kerja sama internasional, dan kemampuan berdiplomasi dan negosiasi.
Kedua, adanya tumpang tindih wewenang antara pemda dan pemerintah pusat terkait paradiplomasi.
Contohnya kerja sama eko-wisata antar Kaltim dan Republik Seychelles di Pulau Maratua sulit terlaksana karena kewenangan pengelolaan pulau terluar berada di Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Ketiga, masih banyak kepala daerah beranggapan paradiplomasi tidak penting, utamanya daerah yang memiliki cadangan SDA yang besar karena masih mengandalkan SDA sebagai pemasukan utama daerah.
Terakhir, beberapa kerja sama luar negeri oleh pemda salah satunya sister city hanya dipakai oleh kepala daerah sebagai ajang untuk menghabiskan anggaran dengan cara melakukan perjalanan dinas ke luar negeri.