JAKARTA, KOMPAS.com - Kebebasan di ruang digital Indonesia dinilai semakin sempit dari tahun ke tahun.
Memasuki 2022, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat bahwa situasi kebebasan digital di Indonesia lebih buruk ketimbang tahun 2021 yang sudah masuk kategori "siaga 2".
Kini, kebebasan digital di Indonesia tinggal separuh jalan dari tingkat siaga menuju "awas", yang berarti Indonesia terus melangkah menuju otoritarianisme digital jika tak ada perbaikan signifikan yang dilakukan.
Baca juga: Tak Kunjung Tuntas Revisi UU ITE, Tiap Hari Korban Bertambah
Ketua SAFEnet Damar Juniarto menjelaskan, ruang digital di Indonesia alih-alih dipakai sebagai sarana memajukan hak-hak berdemokrasi warga negara, justru malah dimanfaatkan sebaliknya oleh penguasa.
"Yang terjadi justru penggerusan hak-hak warga yang mengarah pada situasi yang kami takutkan, yaitu terjadi otoritarianisme digital, teknologi dipakai untuk merepresi, membohongi informasi," kata Damar dalam diskusi virtual International Forum on Indonesia Development (INFID), Senin (11/7/2022).
Menyempitnya ruang kebebasan digital di Indonesia tak terlepas dari berbagai tindakan pemerintah.
Baca juga: Pimpinan DPR: Pembahasan Revisi UU ITE Tunggu Komisi I Selesaikan RUU PDP
Ambil contoh, pada 2019, SAFEnet mencatat sedikitnya 3 kali pemerintah memadamkan internet, yakni di Jakarta (22-24 Mei 2019), Papua dan Papua Barat (21 Agustus 2019), serta Wamena dan Jayapura pada 23-29 September 2019.
Pada 2020, pemidanaan terhadap warga negara akibat berekspresi di ruang digital meningkat pesat dari 24 menjadi 84 kasus.
Selain itu, pasal-pasal karet dalam UU ITE dan Rancangan KUHP yang kini bergulir di parlemen, juga berkontribusi pada menyempitnya ruang kebebasan digital ini.