TIDAK terasa delapan tahun sudah usia Inpres 5/2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kekerasan Seksual Terhadap Anak (GN AKSA).
Itu bermakna, setidaknya sudah delapan tahun pula publik digelisahkan oleh rentetan viktimisasi seksual yang bahkan terjadi di berbagai sentra pendidikan.
Sayangnya, satu windu itu lewat begitu saja dan terkesan kita semua lupa akan keberadaan dokumen penting itu.
Melalui Inpres 5/2014, Pemerintah mengerahkan seluruh kementerian dan lembaga negara terkait untuk melakukan langkah-langkah masif guna mengatasi kejahatan itu.
UU Perlindungan Anak juga tercatat sebagai peraturan perundang-undangan yang paling sering direvisi.
Setelah diluncurkan tahun 2002, kemudian tahun 2014 UU itu direvisi. Berselang dua tahun kemudian, UU yang sama direvisi lagi.
Dalam dua UU versi revisi itu, pasal-pasal pemidanaan mendapat pembobotan lebih besar. Ringkasnya, tak kurang-kurang negara memberikan perhatian besar pada upaya menyebar efek gentar.
Dengan efek gentar yang kuat, sepatutnya tingkat residivisme juga akan rendah dan pemunculan pelaku baru pun dapat ditekan.
Pada sisi lain tampaknya masyarakat, termasuk saya, perlu melakukan tafsir ulang atas kejadian demi kejadian kejahatan seksual terhadap anak yang seolah tidak kunjung mereda ini.
Data tentang kejahatan seksual yang terus menaik, dengan tafsiran baru, sepatutnya tidak direspons dengan kepanikan semata.
Sebaliknya, cara baru kita dalam memaknai grafik yang mendaki itu justru boleh jadi akan 'menenangkan' hati kita bahwa collective efficacy dalam menghadapi kejahatan seksual terhadap anak sesungguhnya kini jauh lebih kokoh daripada sebelumnya.
Tafsiran baru yang saya maksud adalah peningkatan angka kasus dimaksud merupakan resultan dari tiga pihak.
Pertama, masyarakat lebih terbuka dalam membicarakan kejahatan seks sebagai sesuatu yang dulunya dianggap tabu.
Warganet lebih-lebih lagi. Peristiwa-peristiwa mengenaskan yang semula tidak masuk dalam radar otoritas penegakan hukum, diviralkan.
Keluarga juga lebih ringan langkah melaporkan kepiluan yang diderita anggota keluarga mereka.