IDUL Adha 1443 Hijriah dirayakan masih dalam situasi pandemi Covid-19 dan beragam masalah dihadapi negara kita tercinta.
Berkembangnya disharmoni dan potensi disintegrasi bangsa serta perang Rusia dan Ukraina, yang berdampak naiknya harga BBM dan kelangkaan pasokan makanan.
Idul Adha di tengah hadirnya kompleksitas masalah kehidupan sejatinya bisa menjadi ladang amal untuk memanen lebih banyak pahala.
Idul Qurban merupakan Hari Raya yang menekankan pada esensi ajaran berkorban untuk menguatkan hubungan spiritual dan sosial, selain sebagai ikhtiar untuk meraih takwa kepada-Nya.
Qurban telah menjadi salah satu ritus yang sudah ada sejak sejarah awal manusia. Yang dilakukan oleh kedua putra Nabi Adam AS, qurban yang dilakukan sebagai refleksi rasa syukur hamba atas segala nikmat yang dianugerahkan Tuhannya.
Qurban sacrifice dalam bahasa Inggris dan xisheng dalam bahasa Mandarin, adalah amaliah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Namun tidak dapat disebut sebagai sacrificial (sesajen) karena untuk memperingati dan mencontoh ketulusan peran sebuah keluarga agung, yaitu Nabi Ibrahim dan Isma’il serta istri Nabi Ibrahim Siti Hajar.
Dalam sosiologi agama dikenal paling kurang ada tiga cara pengorbanan, yaitu monoteisme etis, sacramental dan sacrificial.
Islam disebut sebagai agama monoteisme etis, yaitu agama yang mengajarkan tentang tauhid dan taqarrub, pendekatan kepada Allah SWT melalui amal saleh.
Amal saleh dapat dilakukan tidak hanya dengan menyembelih hewan qurban. Berkontribusi aktif kepada lingkungan sekitar, dengan mampu merefleksikan sikap peduli dan berbagi kepada sesama manusia. Terlebih-lebih kepada kaum papa.
Sebagaimana Rasulullah mengingatkan “belumlah dikatakan beriman yang sempurna seseorang yang tidur dalam perut yang kenyang sementara mengetahui tetangganya sedang kelaparan.”
Amal saleh juga dapat dilakukan dengan ihlas membantu negara yang sedang dirundung banyak masalah.
Dan mampu memberikan kemanfaatan sebesar-besarnya bagi orang lain, masyarakat, bangsa dan negara, ihlas menjadi bagian dari komponen solusi atas masalah bangsa.
Momentum Idul Adha diharapkan dapat menjadi pemicu semangat anak bangsa untuk saling berlomba melakukan kebaikan (fastabiqul khaerat).
Dan momentum refleksi bagi kita semua untuk bertanya apakah kita sudah benar-benar berkorban untuk mewujudkan cita-cita bangsa yang sejahtera, adil, dan makmur?
Utamanya bagi yang saat ini diamanati sebagai pemimpin di semua level, harus memiliki kesadaran bahwa menjadi pemimpin pilihan yang tidak nyaman.
Ia tidak saja butuh langkah konkret dan kerja nyata, tapi juga kemauan dan kemampuan berkorban.
Tidak ada pencapaian hebat tanpa kehadiran pemimpin yang siap berkorban bagi rakyatnya, leiden is lijden, memimpin itu menderita.
Begitu pepatah kuno Belanda yang dikutip Mohammad Roem dalam karangannya berjudul Haji Agus Salim, Memimpin Adalah Menderita (Prisma No 8, Agustus 1977).
Sejatinya menjadi pemimpin pada level mana pun, adalah pemegang amanah, bukan pemegang prestise. Memimpin itu sacrificing, bukan demanding. Terlebih alat untuk menumpuk kekayaan.
Tidak ada kemajuan sebuah bangsa tanpa pengorbanan pemimpinnya, yang memiliki kekuatan moralitas yang mumpuni.
Semangat Idul Adha diharapkan mampu menggelorakan kemampuan dan kemauan berkorban.
Bagi yang diberi amanat menjadi pemimpin mampu mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, atas kepentingan egosentrismenya.
Memiliki moralitas luhur yang mampu mengalahkan kepentingan godaan pencitraan, populisme, dan nafsu memupuk kekuatan untuk melanggengkan kekuasaan.
Agus Salim adalah contoh pemimpin yang berani susah. Kasman, seperti diingat Roem, jalan pemimpin bukan jalan yang mudah. Memimpin adalah jalan yang menderita.
Agus salim meski pernah menjadi menteri dan pejabat tinggi, beliau hidup jauh dari keadaan nyaman: kurang uang belanja untuk hidup, pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain. Hal ini biasa bagi beliau dan keluarganya.
Juga teladan dari Bung Hatta, yang mampu berkorban untuk bangsa dan negaranya, di antaranya dengan tidak mau melakukan korupsi. Walau sebuah amplop. Ya, sebuah amplop.
Pengorbanan Bung Hatta seharusnya melahirkan spirit antikorupsi dalam diri pejabat dan birokrasi kita.
Semoga Idul Qurban yang kita laksanakan setiap tahun jangan hanya dijadikan ritual keagamaan yang tanpa makna dan arti. Namun harus mereflesikan dan menggerakkan spirit berkorban kepada sesama.
Idul Qurban sejatinya menjadikan kita semua mampu dan rela berkorban jiwa, raga, dan harta untuk kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Berkorban memang mudah diucapkan. Sesungguhnya perlu perjuangan mewujudkannya.
Seringkali berkorban bukan lagi sebagai sebuah keniscayaan. Tapi berkorban sudah dibalut dengan kepentingan, diiringi rasa riya dan bahkan tak jarang berkelindan kepentingan politik.
Ada yang mau berkorban, tapi bersyarat. Butuh suara pemilih. Butuh pencitraan untuk dilihat agar dianggap dermawan, baik hati, dan memesona orang lain.
Berkorbanlah dengan segenap jiwa raga. Berkorbanlah dengan ikhlas dari hati yang tulus.
Berkorbanlah meski dengan amaliah yang sederhana, namun dengan cinta yang besar, dengan mengobarkan solidaritas dan harmoni sesama anak bangsa. Semoga!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.