Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa kontestasi dalam konteks pemilu pada akhirnya akan melahirkan pihak yang menang dan pihak yang kalah. Itulah fakta yang tak terbantahkan dari proses pemilu.
Penerimaan terhadap fakta tersebut memampukan kita untuk melangkah lebih maju pada pendewasaan berdemokrasi.
Menang dalam pemilu berarti mendapat mandat atau kepercayaan dari rakyat. Namun di sisi lain kepercayaan itu adalah amanah yang mesti ditunaikan dengan penuh rasa tanggung jawab.
Sebaliknya, kalah dalam pemilu berarti mendapat kesempatan untuk menjadi mitra rakyat dan pemerintah untuk ikut mengawasi jalannya pemerintahan demi terciptanya kebaikan bersama.
Berkaca dari pemilu-pemilu sebelumnya, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Republik Indonesia mencatat sejumlah hal penting yang dirangkum dalam Indeks Kerawanan Pemilu (IKP).
Kerawanan pemilu adalah segala hal yang berpotensi mengganggu atau menghambat proses pemilu yang demokratis.
Berdasarkan hasil penelitian dan keterlibatan langsung dalam proses-proses Pemilu, Bawaslu membagi kerawanan itu di dalam tiga dimensi, yakni penyelenggaraan, kontestasi, dan partisipasi.
Dimensi penyelenggaraan terkait dengan pihak penyelenggara pemilu, dimensi kontestasi terkait para calon dari partai politik yang bersaing untuk mendapatkan kursi kekuasaan, sedangkan dimensi partisipasi berhubungan dengan keterlibatan masyarakat pemilih.
Kerawanan pemilu dalam tiga dimensi tersebut terjadi di berbagai wilayah Pilkada dengan indeks rendah, sedang, sampai tinggi, dan memiliki karakteristik kerawanan yang berbeda dan unik.
Dalam dimensi penyelenggaraan, Bawaslu mencatat tingginya kerawanan berkait-paut dengan aspek integritas dan profesionalitas, di mana pihak penyelenggara Pemilu tidak mampu menjaga netralitas, terjadi penyalahgunaan wewenang, serta daftar pemilih tetap (DPT) bermasalah.
Sedangkan dalam dimensi kontestasi, kerawanan terjadi sejak pencalonan sampai konflik antarkontestan dan massa pendukung saat kampanye.
Menurut catatan Bawaslu, model-model kampanye hitam, politisasi SARA,dan politik uang mewarnai jalannya kontestasi Pemilu di Indonesia.
Dalam dimensi partisipasi, hak pilih yang tidak dipakai, kontrol masyarakat rendah, dan kekerasan terhadap pemilih berkontribusi besar terhadap kerawanan Pemilu.
Tidak hanya itu, politisasi budaya merupakan bagian dari kerawanan Pilkada dan Pemilu. Pengaruh tokoh agama di beberapa daerah juga menjadi incaran para kontestan.
Misalnya, di Papua seorang kepala suku dapat bertindak sebagai satu-satunya pemilih yang mengatas namakan warga di dalam sukunya.
Karena itu, bila kepala suku dapat dipengaruhi, maka dukungan suara akan diperoleh. Di Sumatera Utara, ada “amplop ingot-ingot” yang mengeksploitasi tradisi Batak untuk kepentingan si kontestan.
Padahal, semua ini berpotensi melanggar asas demokrasi bermartabat.
Tiga dimensi kerawanan yang diperlihatkan oleh Bawaslu itu menunjukkan bahwa pemilu yang damai dan demokrasi bermartabat hanya dapat diwujudkan melalui keterlibatan aktif dan kerja sama yang baik seluruh anak bangsa.
Pemerintah, penyelenggara Pemilu, partai politik, seluruh elemen bangsa, dan warga negara mempunyai posisi dan pengaruh yang penting untuk memajukan proses demokrasi dan menyukseskan pemilu yang damai dan bermartabat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.