Salin Artikel

Wujudkan Pemilu 2024 yang Damai dan Bermartabat

Pemilu adalah istrumen sekaligus wujud nyata dari demokrasi. Indonesia adalah negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi.

Dalam pemikiran Bung Hatta, proklamator sekaligus pendiri bangsa Indonesia, demokrasi kita berbeda dengan demokrasi model Barat.

Kedaulatan rakyat di Barat hanya terjadi dalam ranah politik, sedangkan di Indonesia kedaulatan rakyat juga mencakup bidang sosial dan ekonomi.

Pembedaan ini dipandang perlu oleh Hatta, sebab demokrasi di Barat dilakukan dalam rangka individualism, sementara kehidupan ekonomi dikuasai oleh kaum kapitalis yang masih tergolong minoritas.

Sebaliknya, demokrasi Indonesia dibangun dari dalam kehidupan sehari-hari di pedesaan yang sangat menekankan musyawarah dan mufakat, hak-hak rakyat, cita-cita tolong menolong (Suseno 1997, 10-11).

Demokrasi di Indonesia menjunjung tinggi hak-hak individu namun tidak individualistik. Semangat kebersamaan, kekerabatan, tolong menolong dan gotong royong sangat ditekankan sebagai kearifan masyarakat dan bangsa Indonesia.

Supomo pendiri bangsa lainnya juga mengungkapkan bahwa pembangunan Indonesia harus disesuaikan dengan struktur sosial masyarakat Indonesia, sehingga persatuan harus dikedepankan (Suseno 1997, 12-13).

Demikian halnya dengan Soekarno, Proklamator sekaligus Presiden RI pertama, yang mengingatkan supaya kita mewujudkan kehidupan demokrasi yang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia yang gandrung akan persatuan, yang cinta damai dan kemerdekaan.

Kita tidak boleh melakukan demokrasi yang diimpor dari Barat karena memang tidak cocok dengan jiwa keindonesiaan (Suseno 1997, 19-20).

Hal ini membuktikan bahwa demokrasi bukan paham yang kaku dan dogmatis. Bukan pula milik pusaka orang Barat, kendati demokrasi dimatangkan sebagai sebuah pemikiran dan sistem pemerintahan di Barat.

Demokrasi adalah paham yang relative, kontekstual, dan dinamis (Suseno 1997, 60).

Artinya, demokrasi dapat dikembangkan secara berbeda dari satu negara ke negara lain, tentu dengan memperhitungkan kondisi riil dan budaya yang hidup dalam suatu negara.

Dengan demikian, demokrasi terus tumbuh dan berkembang secara dinamis dan khas. Misalnya saja di Indonesia, kita mengalami dan menjalani demokrasi yang dijiwai falsafah hidup bangsa yaitu Pancasila.

Kini kita tidak lagi mempersoalkan dasar negara kita, kendati terdapat kelompok-kelompok kecil tertentu yang berupaya untuk mengganti dasar negara kita dengan ideologi lain.

Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI adalah pilar-pilar kehidupan berbangsa dan bernegara kita yang sudah final.

Tantangan bagi kita adalah mewujudkan nilai-nilai di dalam dasar negara dan pilar-pilar kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kehidupan demokrasi demi terwujudnya cita-cita nasional, yaitu masyarakat adil, makmur, cerdas dan disegani dalam pergaulan dunia internasional.

Untuk merealisasikan cita-cita nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 itu, kita membutuhkan pemimpin nasional dan pemimpin daerah yang berintegritas, bertanggung jawab, cakap, dan transparan menjalankan pemerintahan, serta didukung sepenuhnya oleh rakyat.

Karena itu, kita membutuhkan suatu instrument Pemilu yang berlangsung secara jujur, adil, damai dan bermartabat.

Bagaimana mewujudkan pemilu 2024 yang damai dan bermartabat, itulah tantangan kita saat ini.

Pemilu yang berlangsung damai sesuai dengan asas dan hukum niscaya akan menghasilkan pemimpin yang cakap, legitimate, dan membawa bangsa kita pada kematangan berdemokrasi.

Salah satu indikator kematangan berdemokrasi adalah kemampuan menghargai perbedaan dan menerima hasil pemilu dengan lapang dada.

Menghargai perbedaan dapat dilakukan dengan cara menghindari politisasi suku, agama, ras dan antargolongan.

Sebagai bangsa yang besar, sudah tentu kita harus menghargai keanekaragaman Indonesia dan menerimanya sebagai anugerah Tuhan yang mesti kita syukuri dan kita pelihara.

Persoalannya, keanekaragaman atau perbedaan itu kerap kali dipolitisasi. Politisasi khususnya agama misalnya, membuat perbedaan yang awalnya anugerah itu berubah menjadi ancaman.

Di dalam momen Pemilu, baik Pemilu nasional maupun lokal, isu-isu SARA kerap dipolitisasi. Suku, agama, ras, dan golongan dipakai sebagai tunggangan elite politik untuk mendulang suara. Akibatnya rakyat terkotak-kotak dan modal social kita hancur.

Persahabatan yang tadinya tanpa embel-embel SARA, tiba-tiba menjadi renggang hanya karena berada di kubu politik yang berbeda. Hubungan sosial pun memanas dan bahkan rentan melahirkan konflik dan kekerasan.

Tantangan di atas semakin diperparah dengan kehadiran media sosial. Pada masa lalu, misalnya Pemilu 1955, masa kampanye diisi melalui pengerahan massa dan orasi di lapangan-lapangan terbuka.

Di masa kini, kampanye dilakukan melalui media sosial. Kontak fisik memang dibatasi dengan adanya media sosial, namun emosi pemilih dan pengguna media sosial kerap kali diaduk dengan berbagai kampanye negatif.

Karena itu, tensi ketegangan dan dan konflik tidak berkurang dengan adanya kampanye di dunia maya itu.

Sentimen isu tentang suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) merupakan hal yang menarik untuk dikaji menjelang Pemilu 2024 baik melalui portal berita online maupun media sosial.

Dua media ini merupakan media yang paling banyak dimanfaatkan oleh masyarakat.

Menjelang Pemilu maupun Pemilihan Kepala Daerah serentak 2024, sentimen isu SARA kerap menjadi fenomena yang tidak dapat dibendung.

Sentimen isu SARA masih mengancam keberlangsungan Pemilu serentak 2024 disebabkan oleh persaingan ketat para kontestan partai politik untuk mendapatkan kursi kekuasaan.

Portal berita online dan media sosial merupakan media yang kerap menjadi media penyebaran sentimen isu SARA.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Center for Digital Society menyimpulkan bahwa masih ada aktivitas di media sosial yang berhubungan dengan sentimen berbau SARA pada komentar-komentar dari netizen menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu.

Komentar-komentar ini terdapat pada akun-akun yang digolongkan sebagai buzzer, yaitu mereka yang melakukan postingan yang sama di beberapa media dengan menyamarkan beberapa informasi pribadi (UGM, 2016).

Sementara data yang dirilis oleh POLRI (dalam Affan, 2018) menyebutkan bahwa media sosial merupakan media yang paling tinggi dalam menyebarkan isu SARA dibandingkan media lain.

Jenis konten SARA yang paling banyak beredar di media sosial, yaitu dalam bentuk tulisan sebanyak 62,10 persen, gambar (37,50 persen), dan video sebanyak 0,40 persen.

Konflik SARA semakin menggumpal dan melahirkan potensi destruktif yang kapan saja bisa meledak di dunia nyata.

Media sosial bisa menjadi sarana yang efektif dan ampuh untuk memobilisasi massa. Karena itu, panggilan kita di masa pemilu ini adalah bagaimana menciptakan pemilu damai tanpa kekerasan, baik kekerasan verbal, kekerasan psikologis, kekerasan fisik.

Pemilu damai tidak saja pemilu yang berlangsung tanpa kekerasan, tetapi juga pemilu yang berlangsung demokratis sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan.

Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa kontestasi dalam konteks pemilu pada akhirnya akan melahirkan pihak yang menang dan pihak yang kalah. Itulah fakta yang tak terbantahkan dari proses pemilu.

Penerimaan terhadap fakta tersebut memampukan kita untuk melangkah lebih maju pada pendewasaan berdemokrasi.

Menang dalam pemilu berarti mendapat mandat atau kepercayaan dari rakyat. Namun di sisi lain kepercayaan itu adalah amanah yang mesti ditunaikan dengan penuh rasa tanggung jawab.

Sebaliknya, kalah dalam pemilu berarti mendapat kesempatan untuk menjadi mitra rakyat dan pemerintah untuk ikut mengawasi jalannya pemerintahan demi terciptanya kebaikan bersama.

Berkaca dari pemilu-pemilu sebelumnya, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Republik Indonesia mencatat sejumlah hal penting yang dirangkum dalam Indeks Kerawanan Pemilu (IKP).

Kerawanan pemilu adalah segala hal yang berpotensi mengganggu atau menghambat proses pemilu yang demokratis.

Berdasarkan hasil penelitian dan keterlibatan langsung dalam proses-proses Pemilu, Bawaslu membagi kerawanan itu di dalam tiga dimensi, yakni penyelenggaraan, kontestasi, dan partisipasi.

Dimensi penyelenggaraan terkait dengan pihak penyelenggara pemilu, dimensi kontestasi terkait para calon dari partai politik yang bersaing untuk mendapatkan kursi kekuasaan, sedangkan dimensi partisipasi berhubungan dengan keterlibatan masyarakat pemilih.

Kerawanan pemilu dalam tiga dimensi tersebut terjadi di berbagai wilayah Pilkada dengan indeks rendah, sedang, sampai tinggi, dan memiliki karakteristik kerawanan yang berbeda dan unik.

Dalam dimensi penyelenggaraan, Bawaslu mencatat tingginya kerawanan berkait-paut dengan aspek integritas dan profesionalitas, di mana pihak penyelenggara Pemilu tidak mampu menjaga netralitas, terjadi penyalahgunaan wewenang, serta daftar pemilih tetap (DPT) bermasalah.

Sedangkan dalam dimensi kontestasi, kerawanan terjadi sejak pencalonan sampai konflik antarkontestan dan massa pendukung saat kampanye.

Menurut catatan Bawaslu, model-model kampanye hitam, politisasi SARA,dan politik uang mewarnai jalannya kontestasi Pemilu di Indonesia.

Dalam dimensi partisipasi, hak pilih yang tidak dipakai, kontrol masyarakat rendah, dan kekerasan terhadap pemilih berkontribusi besar terhadap kerawanan Pemilu.

Tidak hanya itu, politisasi budaya merupakan bagian dari kerawanan Pilkada dan Pemilu. Pengaruh tokoh agama di beberapa daerah juga menjadi incaran para kontestan.

Misalnya, di Papua seorang kepala suku dapat bertindak sebagai satu-satunya pemilih yang mengatas namakan warga di dalam sukunya.

Karena itu, bila kepala suku dapat dipengaruhi, maka dukungan suara akan diperoleh. Di Sumatera Utara, ada “amplop ingot-ingot” yang mengeksploitasi tradisi Batak untuk kepentingan si kontestan.

Padahal, semua ini berpotensi melanggar asas demokrasi bermartabat.

Tiga dimensi kerawanan yang diperlihatkan oleh Bawaslu itu menunjukkan bahwa pemilu yang damai dan demokrasi bermartabat hanya dapat diwujudkan melalui keterlibatan aktif dan kerja sama yang baik seluruh anak bangsa.

Pemerintah, penyelenggara Pemilu, partai politik, seluruh elemen bangsa, dan warga negara mempunyai posisi dan pengaruh yang penting untuk memajukan proses demokrasi dan menyukseskan pemilu yang damai dan bermartabat.

https://nasional.kompas.com/read/2022/06/27/10181961/wujudkan-pemilu-2024-yang-damai-dan-bermartabat

Terkini Lainnya

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

Nasional
Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

Nasional
Presiden Jokowi Bakal Resmikan Modeling Budidaya Ikan Nila Salin di Karawang Besok

Presiden Jokowi Bakal Resmikan Modeling Budidaya Ikan Nila Salin di Karawang Besok

Nasional
Di Forum MIKTA Meksiko, Puan Bahas Tantangan Ekonomi Global hingga Persoalan Migran

Di Forum MIKTA Meksiko, Puan Bahas Tantangan Ekonomi Global hingga Persoalan Migran

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi Kabinet ke Megawati, Pengamat: Itu Hak Presiden, Wapres Hanya Ban Serep

Gibran Ingin Konsultasi Kabinet ke Megawati, Pengamat: Itu Hak Presiden, Wapres Hanya Ban Serep

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke